M. Bisri Mustofa
Sudah hampir 2 minggu berlalu. Keputusan pulang dan kembali ke kampung halaman menjadi opsi perpisahan antara aku dengannya. Tak seperti biasa. Meski dulu kami sering terpisah 3 sampai 4 minggu, bukan menjadi masalah, namun situasi saat ini berbeda.
Masa studi yang sudah kami lalui, nantinya bakal berlalulalang menjadi kenangan. 5 tahun berlalu, bersama menghadapi lika-liku hidup di perantauan, memang terasa berat untuk direnggangi.
Jarak yang sudah ada di depan mata, mencacimu untuk kembali merantau, atau memintaku untuk pulang juga. Ke kampung halaman.
Supaya dekat dengamu. Ingin nikah saja, dan lain semacamnya.
Harapmu padaku selalu dangkal menghantui. Dan mirisnya aku bukanlah orang yang sudah siap untuk terus susah.
Tidak. Aku lelaki dan kau tau bahwa cita-cita awalku ingin menjadi penulis, penyair, bahkan jurnalis seperti para jawara sebelumnya yang mampu menoreh namanya di ruang sejarah. Bukan menjadi akademisi dan petani sukses seperti yang kau pinta.
Aku sudah cukup tahu, petani tidak ada yang sukses dalam sejarah. Kalopun sukses, ia tidak akan pernah terukir di sejarah yang kusebut. Jadi sudah cukup terang bahwa pilihanku menjadi maestro, adalah harapan kuat yang tak sanggup kau patahkan dengan iba.
Seiring takdir dalam menentukan masa depan, aku dihadapkan 2 pilihan mentah dalam menjejali dunia lepas. Kau pilihan tersukar dalam langkah hidupku. Karier dan semacamnya bukanlah pilihan, tapi prioritas utama di zaman sekarang.
Jadi, aku mohon bersabarlah lebih tabah dalam penantian. Aku rasa waktuku tak lama, hanya sangat lama bagi seorang perempuan sepertimu. Doaku, kau bakal kuat seperti yang kuharap.
—
Aku paham dan tak butuh penjelasan yang sukar. Kau ingin dinikahi sebagai perempuan pilihan, dan itu adalah kemuliaan bagimu.
Berbeda bagiku. Aku menikahimu sebagai seorang lelaki yang tangguh, menjadikan niat meregenerasi, sudah jadi kewajibanku. Anak-anak yang hebat, kuharap bisa tumbuh dari rusukku. Sehingga nantinya mereka dapat mengenang nama orang tuanya.
Kau tidak tahu, bukan? Saat ini, anak yang peduli dengan nasib ayahnya sangat sedikit. Bahkan bisa kau temui di pekarangan rumah yang biasa kau singgahi.
Tetanggamu sendiri. Perempuan tua miskin yang kehilangan anaknya, tak pernah tahu bahwa anaknya saat ini tengah menjadi pengusaha sukses. Hanya saja ia lupa dengan asal-usul nasabnya.
Aku tak ingin seperti itu. Setidaknya kita nanti memiliki keluarga kecil dengan generasi soleh. Di mana setiap sudut rumah bakal terdengar suara murotal dan doa anak-anak kita, sehingga dalam kesakitanpun kita bakal dijamin dengan doannya.
Kepada yang terkasih. Jadikan perpisahan ini adalah langkah resparasi hati. Tuangkanlah semua pikiran kotormu, pesakitanmu, harapan palsu tentangku, dan alkisah mencintaiku, jadi jarak cinta rabmu terganggu oleh kenangan buruk masa lalu.
Kepada yang terkasih. Bila kata-kataku merayu adalah iba, tangguhkanlah doamu. Andai janji-janjiku adalah masa, rebahkanlah asamu. Dan bila kasihku adalah jarak, jangan kau buat sukar mengingkari. Cukup tabahlah pada Ilah yang maha memilah. Siapa tahu, kau bakal berkenan diberi ganti seorang muhasabah, seorang imam yang lebih baik dariku. Percayalah. Aku hanya berharap bahwa Tuhan memberi yang terbaik untuk kita.
Hidup tidak untuk 50 tahun lagi. Tapi 1000 tahun dikenang nama, lebih mulia bagi kita dan peradaban.
—
Hari berlalu, bulan lepas dan berganti tahun. Sudah lupa pada tanggal berapa dan bulan apa aku meninggalkan janji. Untuk pulang kerumah dan meminta orang tuaku segera mengantarkan diri ke pelaminan, masih terngiang ‘konyol’.
Tapi janjiku untuk segera menemuinya selama jangka waktu dua tahun, adalah mutlak.
Ah, setidaknya aku harus segera menemuinya terlebih dahulu. Siapa tahu ia sudah lebih kuat dari yang sebelum kutinggalkan.
—
“Mas, aku mohon izin. Orang tuaku besok akan kedatangan tamu. Dan aku tidak mau mengecewakan dia.” Katanya dengan nada semakin lirih. Matanya lama kelamaan berlinang. Aku tak begitu paham dengan apa yang ia sembunyikan. Ataukah, kau sudah bosan menunggu?
“Memangnya kenapa? Ada apa dengan tamu itu. Kecewa bagaimana?” tanyaku dengan penasaran.
“Tamu yang istiimewa baginya, mas. Ibu sudah terlalu lama menunggu, dan katanya, ia sudah tidak tahan lagi memintaku untuk mencari pendamping hidup. Mereka ingin lekas punya cucu, mas.”
Isak tangisnya tidak lagi terbendung. Pecah suara lirih dari mulutnya, peluh bening mengalir dengan deras sampai membuatku tak sanggup.
Hari petang menunjukku untuk mengambil keputusan. Bukan gumaman rayu yang seperti biasa kudengingkan di daun telinganya. Kali ini aku harus benar-benar serius.
“Mas, bagaimana?”
“Sepertinya, aku tidak sanggup untuk mengambil kepusan saat ini. Di lain pihak orang tuamu yang meminta, aku belum siap dengan segala kekuatanku mencintaimu. Sudah umum jika perkara rumah tangga tak seringan urusan dagang. Tapi,”
“Sudah, mas. Jika memang demikian, lepaskan aku. Aku sudah tidak percaya lagi dengan basa-basimu yang selalu mengungkit hal ini. Sudah berapa kali kau bilang kalau kau hanya bermental pengecut. Bulshit!”
“Memang aku ini alumni fiksi, Mas. Bukankah kau yang membuatku demikian?! Sedari awal aku sudah menolak untuk berterus terang hanyut dalam khayalan, tapi…”
“Tapi apa? Kau menyanggah namun seperti ingin menyita semuanya”
“Sudahlah. Tak ingin aku bahas lagi ketiadaan ini. Cinta yang semestinya tumbuh tapi tak pernah sekalipun memiliki tuannya. Itukah yang kau namakan keindahan fiksi sebelum aku percaya padamu? Hah!”
Aku mengalah, mundur satu hasta menjauh. Dan aku, akhirnya memutuskan untuk pergi berlawanan arah dengannya.
Suasanya taman kian sepi seiring kedatangan kami. Senyap sesap semilir angin goyah mengelabuhi percakapan kami sedari tadi.
Memang, sudah sejak 1 tahun terakhir aku ingin meluapkan kekesalanku padanya. Kekecewaan bercampur dengan caranya memaksaku untuk pergi bersama fiksi yang hanya kukenal lewat mata dan telingaku; tidak pada hati. Pemain baru, protagonis yang tak tau perannya dalam alur, membuatku kalang kabut menyebutnya ‘khayal’. Sampai kapanpun. Di manapun, dan siapapun yang hadir dalam hidupku; dia kusebut fiksi.
Namun masih ada sedikit kegelisahan mengantui sikap tegasku. Menjauh darimu, apakah pilihan terbaik untuk kembali hidup normal? Tanpa prasangka, cemburu, dilema, bahkan sekonyol-konyolnya cinta adalah benar-benar percaya padanya melalui mata dan telingaku. Sedang hati selalu dalam kegelisahan.
Oh, tidak. Kau begitu kejam membalikkan keadaanku yang dahulu, Maswan. Kini tak ayal, aku hanya layak disebut binatang malang. Terbuang pada naluri waktu yang tak akan pernah kembali. Kau jahat Maswan!
—
Di sisi lain, sesampainya di persimpangan jalan taman, Aku menghentikan langkah dan berbalik memandang Sonya yang sudah lebih jauh terlihat.
Ia perhatikan dengan samar-samar langkah gontai Sonya. Terlihat seperti putus asa. Tak berdaya. Maswan hanya bisa memandanginya hilang dari tatapan. Tak sepatah kata hatipun terucap. Ia kian bimbang, menyesal dengan keputusasaanya mempertahankan Sonya dari prahara yang begitu rumit. Meski ia sendiri tau dengan apa yang akan terjadi jika terus bertahan dengan Sonya. Kehilangan kekasih yang berjalan 7 tahun lebih baik baginya, ketimbang kehilangan restu orang tua yang sudah sejak kecil menghidupi, menyayangi, mencintainya dengan sepenuh hati.
Terus digenggam cinci yang batal bakal pertunangannya dengan Sonya. Ia dekap erat-erat, hingga akhirnya memutuskan untuk melempar ke tepian danau yang tak jauh dari tempat ia berdiri.
—
Semakin aku sadar, pucuk Sakura itu kian lama kian tinggi bersemi. Berguguran setiap musimnya. Kadangkala lebih dulu jatuh diterpa semilir angin. Sampai suatu kala ia layu mengering, dan terhempas bersama reruntuhan salju-salju sisa.
Bahasa yang paling indah ketika daun gugur, angin tak pernah salah padanya. Dahan tak sedikitpun menyalahkan. Karena tak sepatutnya dedaunan berharap terlampau tinggi pada dahan induknya. ‘Layu ia, Mengering ia, Jengah pun ia’, rebahlah bersama desau fana.
Begitu kulihat pucuk-pucuk Hanami berderaian di lantai taman, tepian sungai Waingapu. Tak banyak rupanya, hanya semacam dengan warna yang mulai mala. Berbeda dengan yang kutatap pada dahan paling tinggi, begitu mengulas citraan maha damai. Ya. Ia mempesona. Jauh terbentang di bawah langit-langit Tuhan. Berbanding lugu dengan kawannya yang tlah lama layu.
Bergegas aku memungut satu Sakura yang tak lagi kusebut Hanami. Tak menarik. Begitu culas. Kerutan memudarnya begitu landai. Terkadang aku mengira-sama halnya denganku kala sepi. Tiada sekawanpun bahagia. Justru sepi menerbangkan asa yang kuukir dengan tinta merah ini.
Tepat berdiri sendiri. Pukul 17.21. Di Kota Fiksi.
—
Bengkulu, 18 11 ’18