Oleh
Muhammad Bisri Mustofa
Namaku Radit. Aku terlahir dari keluarga baik-baik dengan latar belakang keluarga yang agamis. Kakekku seorang Kyai disebuah pondok pesantren, sedang ibu dan bapakku juga memiliki basic keagamaan yang cukup tinggi.
Namun setelah aku memutuskan keluar dari lingkungan keluarga dan pergi melanjutkan pendidikan pada sebuah perguruan tinggi swasta, semuanya berubah. Ini semua aku rasakan berat ketika seorang diri memilih untuk pergi kedunia luar tanpa pengawasan satu keluargapun disini. Semuanya seolah mengawasiku acuh, semua seakan menekanku untuk lari dari prinsip kebaikan, semua ingin aku menjadi diri lain diluar karakterku. Hingga suatu ketika aku benar-benar bias dan tak lagi baik dimata orang tuaku, akupun pasrah mengikuti tanah yang basah.
Awal ketika aku masuk kuliah, keadaannya memang kondusif dan baik-baik saja. Setelah aku memasuki semester ketiga semuanya terasa berbeda. Aku mulai tau setiap karakter dari teman-teman sekelasku. Ada yang baik, alim, pemalas, bodoh, tak acuh, rajin, sampai kepada yang benar-benar pembangkang tak mau sama sekali kuliah hanya menghabiskan waktunya dikantin dan sibuk organisasi. Memasuki semester kelima aku mulai goyah dan kalut. Aku mulai terbawa kearah yang berlainan. Mulai malas-malasan kuliah, nilai semesterku hancur-hancuran, sampai terjerumus kedunia bebas. Aku sudah mulai berani mendekati perempuan. Hingga suatu ketika aku jatuh kedalam pelukkannya dan terbuai kedalam rayuan palsu.
Entah sampai mana tindakkan asusila yang selalu aku perbuat setiap saat bersamanya. Bolos kuliah tak bisa aku pungkiri. Ya, hanya karena wanita yang sebelumnya aku temui diruang perpustakaan kampus, dan lain cerita mekarlah cinta kami hingga jatuh patah titik keruh. Aku tak bisa menceritakan bagaimana menggeloranya cinta kami. Dan semua itu ingin kulupakan mentah-mentah.
Aku tau bahwa hidup tak mungkin melulu begini. Semua terasa ketika kami sudah memasuki semester akhir. Saat kawan-kawan sudah berada pada diambang pintu keluar, dan aku sendiri masih sibuk mengurusi nilai-nilai semester bawah yang jeblok. Aaaaaarghhh. Memang benar bila kenyataannya penyesalan selalu datang terakhir. Bahkan satu persatu aku rasakan pergi dengan sendirinya. Mulai dari teman-teman, sahabat yang telah mengukir karakter dalam diriku, sampai kekasihku pun meninggalkanku dalam keadaan terpuruk saat ini.
Aku tak tahu kepada siapa harus mengadu, perasaanku tlah sampai pada keputusasaan sampai suatu saat aku pernah memutuskan untuk kabur meninggalkan semuannya sejauh ini dan pergi keluar kota untuk memulai hidup baru. Namun hal tersebut gagal kulakukan setelah ada seorang sahabat lama menasehati dan membimbingku dengan suka cita. Ia selalu mengarahkan kedalam keadaan yang seketika membuatku kuat dan memotivasiku panjang lebar tentang sebab-akibat dari keputusasaanku bila hal tersebut ku putuskan untuk menyerah dan lari dari masalah. Terlebih ketika tak lagi memikirkan hasil jerih payah orang tuaku yang sejauh ini selalu membiayai kebutuhanku, mau dengan apa aku membalas kebaikan mereka?, dengan sikap tak bertanggung jawab ditambah lagi mengecewakannya? Ya, dialah seorang sahabat yang benar-benar membawa perubahan padaku.
Sedikit demi sedikit aku mulai berfikir dewasa dan tergugah. Ia semakin rutin mengajakku pergi ke masjid untuk shalat. Ia bimbing aku belajar mengkaji alquran, tak jarangpun ia membawaku pergi kepengajian-pengajian ilmu agama.
Lambat laun aku pulih dari cidera yang serta-merta menghantuiku. Sekarang, dua bulan berlalu dan aku mulai mendapat hidayah. Aku diajak seseorang yang ku temui pada sebuah kajian agama, dan dia menawarkan sebuah pekerjaan padaku. Akupun setuju dan sampai saat ini aku sudah menjalaninya meski masih menjadi seorang karyawan disebuah perusahaan Travel Haji dan Umroh Mumtaza, selama lebih dari 3 bulan. Allah berbaik sangka padaku, sampai-sampai suatu ketika tatkala aku sedang dalam keadaan bersyukur yang teramat ikhlas, Allah menaikan derajatku.
Aku mendapat jalan untuk menyelesaikan kuliahku, dan tak lama kemudian aku mendapatkan SK Sidang Skripsi-ku. Tak berselang lama, bos perusahaan menelponku untuk segera kekantor. Sesampainya dikantor, bos menyuruhku untuk menyiapkan berkas data ajuan kenaikan pangkat, meski sedikit bingung, aku hanya mengikuti prosedur yang ia perintahkan. Setelah beberapa lama pasca pengajuan berkas yang ku buat, bos memanggilku kembali kedalam kantornya, beberapa saat kemudian akupun terkejut melihat keputusan yang ia sampaikan melalui surat perintah yang ia berikan kepadaku. Dalam waktu dekat, aku akan mengisi posisi baru sebagai manager diperusahaan tersebut. Allahuakbar
——————————-
Memasuki tahun ketiga setelah kelulusanku sebagai seorang sarjana, aku mulai dirundung galau. Kedilemaan pun menghampiri disela-sela kesibukkanku menjalani aktifitas kerja. Ya, mulai timbul berbagai pertanyaan dari orang disekelilingku tentang kapan aku akan memiliki pasangan dan menikah. Siapapun tak ku hiraukan, tanpa terkecuali orang tuaku. Aku masih berfikir jauh untuk menikah, dilain sisi aku masih belum siap dan mengganti kebahagian orang tuaku yang selama ini tercurah. Cita-cita pertamaku adalah mengumpulkan biaya untuk bisa memberangkatkan mereka pergi ibadah haji. Bukan lainnya, apalagi menikah.
——————————-
“Ya,Tuhan, jika aku boleh meminta, utuslah wanita sebaya atau lebih dewasa dariku. Yang bibirnya tipis merah merona, alisnya yang tebal dan natural, pipinya lesung, murah senyum, salehah, dan berhijab rabani.
“Biar saja ia mulia, agar menyentuhnya-pun aku tak kuasa. Seperti biasa, hanya senyumnya yang mampu menyekap lelahku. Tutur katanya yang mengusap laraku. Maupun desah rayunya yang menghibur galauku. Biar tak ku sentuh, berikan ia sebagai jodoh pilihanku. Sekalipun ia bidadarimu dari surga, Tuhan.”
Seolah-olah permintaan yang tiada henti ku sanjungkan dalam doa, selepas shalat lima waktu maupun shalat malam lainnya. Hal ini ku niatkan dalam hati karena diumurku yang sudah cukup matang, aku masih juga belum memiliki pandangan tentang calon istri yang akan menemani kehidupanku selanjutnya dan dilain sisi hal tersebut sudah menjadi permintaan orang tuaku dalam waktu dekat. Tak jarang bila hal tersebut menjadi sebuah kenyataan, aku selalu menjanjikan untuk bernazar.
——————————-
Pagi ini aku bergerak lebih awal. Tak ingat jam berapa aku bangun subuh tadi. Bergegas ku cepatkan langkah untuk pulang kerumah orang tuaku di desa. Kabar buruk menimpaku pagi ini. Bapak sakit, dan beliau menyuruhku untuk segera pulang dan memenuhi keinginannya, yang jadi beban fikiranku saat beliau menelponku kemarin.
“Radit, kamu kan sudah dewasa. Umurmu juga sudah matang. Lalu, kapan kamu mau memberikan cucu untukku.” Katanya mengisyaratkan dilema baru
Entah apa yang membuatku berfikir untuk memenuhi keinginan beliau. Kekhawatiran mulai memuncaki fikiranku. Gelisah. Seolah-olah itu menjadi keinginanya yang terakhir.
Lalu aku, tak sepotong katapun muncul dan terlintas dibenakku untuk segera menikah. Jangankan pasangan, berkawanpun aku terlalu alergi kepada siapapun wanitanya. Jujur, aku hanya seorang cupu yang tak gentle untuk mendekati wanita. Bukan lantaran penampilanku yang tak cool. Aku sudah lebih dari cakep, berwibawa, dan sudah mapan. Begitu persepsi yang timbul ketika aku berkaca sehabis mandi. Tapi, ah sudahlah, lebih baik aku pulang terlebih dahulu.
Tak ku tunda-tunda lagi niatku, akupun segera memesan mobil lintas kota-desa atau lebih dikenal sebagai travel.
—————————–
Tak sadar aku sudah hampir sampai dirumah. Entah berapa lama diperjalanan tadi aku melamun. Dan,
“Sudah sampai, Mas” sontak sopir travel menegurku membuyarkan lamunan.
“Oh, iya. Trimakasih, ya, pak.” Aku melangkah keluar mobil sambil menyodorkan dua lembar uang lima puluhan.
Kulihat ibu menyambutku berdiri didepan teras rumah. Wajahnya sayu seperti kehilangan sebuah semangat menatapku. Aku segera mencium tangannya yang layu.
“Kemarin Bapakmu dibawa kerumah sakit. Kata dokternya darah tinggi bapakmu kumat. Sudah sampai 150. Ditambah lagi diabetesnya yang sudah akut. Namanya juga sudah tua. Pasti ada aja sakit yang datang.” kata ibu lirih.
“Lha mana mobilmu, kenapa malah naik travel?”
“Anu, Buk. Fikiran saya gak tenang dengar bapak sakit. Nanti malah terjadi apa-apa dijalan, jadi lebih baik saya nyarter travel aja, Buk…”
“…dimana Bapak, Buk?”
“Rumah Sakit Daerah. Nanti sore kita berangkat, ibu sedang menunggu adikmu Rina. Katanya dia pengen ikut nemui bapakmu. Ya sudah, kamu istirahat aja dulu.”
—————————–
Sesampainya dirumah sakit, aku segera merangkai kata-kata untuk berkilah dari pertanyaan bapak, Sambil berjalan dengan perasaan campur-aduk. Aku tertunduk lesu karena takut akan mengecewakan perasaan bapak.
Didepan pintu kamar, aku bergegas mengusir persepsi tadi. Kulihat dibalik pintu kamar, beliau tengah berbaring lemah. Ada rasa iba yang kemudian timbul mencaciku.
Selama ini aku hanya sibuk dengan kegiatan-kegiatan, sibuk kerja, sibuk rapat, dan tak sedetikpun memberi kabar bahagia untuk bapak. Ya, Tuhan. Inikah alasan kenapa engkau masih memberiku waktu untuk sekedar menyapa dan bertemu beliau dalam suasana seperti ini. Lebih-lebih kau luangkan cara untukku segera memberi harapan yang ia inginkan. Akupun berlari memeluk erat bapak.
—————————–
“Radit, bagaimana tentang pertanyaan yang bapak ajukan kemarin. Apakah sudah ada pertimbangan dari kamu?” Kata beliau mempertegas pertanyaan yang kami bicarakan dalam telpon diiringi senyum lirih dari tatapannya yang tajam dan terarah.
Pandangannya yang sayu dan berharap, membuatku untuk segera berlari mencari wanita seperti yang bapak harapkan, terlebih dari apa yang selalu aku ilustrasikan dalam doa.
“Dit, gimana? Kenapa kok diam saja?” Seisi kamar menatapku seolah-olah sedang mengahikimi. Lidahku pun masih kelu tanpa satupun ujar. Tak ada kata-kata yang sempat terucap secara reflek, maupun hanya sekedar menghibur beliau.
“Radit.? Bagaimana kalau ini menjadi permintaan terakhir bapak? Bapakmu ini sudah tua dan lemah. Masa harus bapak yang mencarikanmu jodoh.”
“Itupun kalau kamu mau, Dit. Bapak cuma sekedar mengajukan pilihan. Memang ada sebenarnya. Cuma bapak mau liat seberapa ukuran kamu memili calon istri yang baik. Kapan-kapan biar ibumu yang menceritakan.” sambil terengah-engah bapak berbicara memaksaku. Akupun segera mengambil keputusan demi harapan agar beliau tidak kecewa padaku.
“Pak, kalau boleh Radit minta waktu, biarkan Radit bawa calon mantu kerumah kita satu minggu lagi.” kataku menghibur.
“Kenapa harus satu minggu, nak?”
“Anu, pak. Sebenarnya saya sudah punya calonnya. Cuma dia sekarang sedang dinas diluar kota. Katanya minggu depan dia mau saya ajak membesuk bapak. Tapi mudah-mudahan bapak segera sehat.” kataku yang tak pernah sadar tengah berbohong besar pada beliau.
Iya kalau dapat. Kalau tidak, Apa aku telah mempercepat kekecewaan beliau kepadaku, atau sebaliknya. Lagi lagi aku melamun mencari kepastian sekaligus jalan buntu.
—————————–
Sudah hari ketiga setelah kepulanganku memberikan secerca harapan untuk bapak, dan sampai saat ini, kenyataannya begitu pelik. Ku tanyakan kesana kemari, mulai dari teman sekantorku, bos, hingga ibu cafe yang sering aku kunjungi, semuanya tak luput dari pertanyaan lucu, “apakah anda punya kenalan wanita yang sudah siap untuk menikah?” begitu dan begitu sampai akhirnya mereka semua tertawa terbahak-bahak.
Tak satu kalimatpun aku katakan mengapa aku bertanya demikian. Aku tak ingin memberi argumen untuk diajukan kepada masalah mereka masing-masing.
Akupun hanya tersenyum sambil garuk-garuk kepala untuk meyakinkan kepada mereka bahwa aku hanya sekedar bercanda. Dan waktu pun makin menyerangai pikiranku.
—————————–
Seperti biasa, aku sudah mulai rajin bangun subuh. Tak hanya untuk menyiapkan bekal kerja sehari-hari, dan yang utama adalah segera meminta petunjuk dari yang maha kuasa.
Akupun segera mengambil wudhu dan bermunajat kepadanya.
Ditengah ku bersujud, tiba-tiba telpon berdering beberapa kali. Hingga akhirnya nada pesan singkat yang terakhir ku dengar. Setelah selesai berdoa, akupun segera mengambil handpone diatas meja. Ada 5 panggillan tak terjawab dari Rina. Kemudian ku buka pesan singkat yang membuatku makin penasaran pada adikku, ada apa gerangan pagi-pagi begini sudah menelponku.
“Kak, Radit. Bapak, Kak. Bapak udah ngga ada. Cepat pulang kak!” Kubaca berulang-ulang apa isi pesan singkat tersebut sampai aku benar-benar yakin bahwa aku tidak salah baca.
Setelah aku sadar, kakiku terasa kaku, badanku lemah dan roboh.
—————————–
Bukan sekedar firasat sebenarnya. Hal ini harusnya memberiku lebih banyak waktu untuk berada disamping beliau dari hingga pertemuan terakhir, kemarin.
“Aku tertunduk menyesali firasat
Yang tak serta merta ku rasakan selama ini.
Seperti halnya fajar yang memberiku permintaan pada subuh
Atau pertanyaan yang seketika menghilang ditelan senja
Semuanya menjadi bias dan hilang….
Ya,
Sekarang hanya bunga kamboja disepanjang tanah kuburan
Yang segera menjawab pertanyaan dari kekhawatiranku selama ini….”
—————————–
Suasana pemakaman hanya spesial bagi sebagian orang yang masa diakhir hanyatnya terpenuhi. Tidak pada almarhum bapak. Ini semua lantaran aku yang kaku dan jemu menanggapi kenyataan hidup. Ku pandang satu persatu mata orang yang ada disekelilingku.
Tak satupun tampak asing bagiku. Mereka khidmat memanjatkan doa terakhir untuk bapak. Namun, sekali lagi pandangku jatuh pada seseorang yang berada dibelakang ibu.
“Nisa,?” tanyaku dalam hati seolah ingin memanggilnya. Ya, memang benar itu Anisa seorang gadis kecil yang pernah dibawa oleh orang tuanya saat silaturahmi kerumah kami. Keluarga kami memang terbilang sangat dekat, terlebih dilatar belakangi memiliki lingkungan kerja yang sama, membuat bapak dengan ayah Anisa sudah seperti keluarga. Tak jarang kamipun saling berkunjung silaturahmi kala itu.
Tujuh belas tahun yang lalu. Ya, waktu kami masih duduk dibangku sekolah dasar. Dan sekarang umur kami yang menginjak usia 27 tahun. Segera mengubah rasa penasaranku. Akupun memandangnya lebih dalam melewati bias-bias cadar yang ia pakai.
Lebih lanjutnya, aku mengingat kata-kata ibu sebelum keberangkatan menuju pemakaman.
“Nanti kamu akan segera bertemu dengan perempuan yang bapak pernah bicarakan di rumah sakit waktu itu.”
“Apa mungkin dia. Ya?”, Seketika ibu memanggilku untuk mendekat dari posisi kami yang bersebrangan.
” Radit. ini Anisa. Anak Pak Abdulah yang sudah lama pengen bapakmu kenalkan. Tapi sehubung waktumu yang sibuk, biarkan ibu yang mengenalkanmu padanya. Mudah-mudahan kamu cocok, dan kita semua menjadi saksi didepan makam bapakmu.” kata ibu memecah kesenyapan seusai kami berdoa.
Memang kami tak begitu ingat masa itu, disitulah ibu berniat untuk lebih mendekatkan kami. Tak segera aku melangkah kesamping ibu, ia melempar senyum merona padaku, meski hanya terlihatnya samar-samar dibatasi benteng cadar. Ya, tak salah lagi.
—————————–
Dua bulan berlalu, sampai pada akhirnya aku memilih bangkit dari cerita asing dihatiku. Ku coba untuk melupakan masalah yang kualami saat ini hingga membuat aku larut dalam berkabung. Seiring waktu Ibupun sudah mulai memasrahkan kehendaknya untuk segera menimang cucu kepadaku. Dia tak lagi begitu memaksa apalagi mematok kriteria seperti yang Bapak inginkan, asalkan baik akhlaknya, itu sudah cukup kata ibu.
Anisa pun tak begitu memprioritaskan kehadiranku dalam hidupnya. Semua begitu mengalir dengan sederhana. Adapun niatnya dalam hati hanya untuk sedikit menghibur hati ibu yang sedang galau kala kepergian bapak waktu itu, dan juga sekedar menyambung tali silaturahmi dalam keluarga ini. Dan kini, semuanya ia serahkan kepadaku.
Aku hanya berfikir untuk tetap saling terhubung tanpa memberikan sedikit kepastian menunggu, dan kuputuskan untuk mengutarakan kata Taaruf padanya meski ini memang berat. Bukan keinginan keluarga yang melatarbelakangiku berat melakukan ini, tapi ada yang lebih ku takutkan dari sekedar berdekatan dengan seorang wanita. Ternyata dia adalah seorang janda.
Sampai saat ini tak sedikitpun berani ku tanyakan apa yang menjadi latar belakang ia menjanda. Hingga suatu ketika ibu sendiri yang menceritakan bagaimana peliknya kehidupan rumah tangga Anisa. Orang tuanya menjodohkan Anisa dengan seorang pengusaha ternama, DM Corporation (Dream Master) dari Brunei-Darusalam yang konon ceritanya saat ini sudah mengalami kebangkrutan. Tak berjalan lama setelah pernikahannya, Suaminya menjadi seorang yang dikenal sebagai sosok yang kasar dan suka main tangan, bahkan terakhir kali dalam kisahnya, Anisa tak ingin dimadu sampai mengantarkannya ke jenjang perceraian. Namun ia terus berusaha untuk mempertahankan hubungan rumah tangganya baik-baik saja, namun apa daya, hal itu sudah menjadi keputusan bulat suaminya dan membuat Anisa pasrah akan keadaan. Orang tua Anisa sendiri kedua-duanya sudah tiada dan kini ia hidup sebatangkara hanya mengandalkan bisnis kecil-kecilan peninggalan usaha dari Almarhum ayahnya.
Mendengar cerita tersebut membuatku seolah-olah iba kepada Anisa. Sebegitu beratnya beban yang ia pikul. Dan bebanku selama ini, masih seujung kuku bila dibandingkan.
—————————–
Setelah seminggu kepulanganku dari kampung halaman menuju ke habitat kerja, aku begitu merasakan perbedaan suasana. Hal ini terlihat ketika aku menimpali segala keadaan dengan lebih bersyukur, dan yang menjadi tolak ukur, bahwa aku benar-benar menjadi seorang yang beruntung jika dibandingkan dengan orang-orang disekelilingku.
Anisa, seseorang yang baru saja ku kenal melalui latar belakang kehidupannya, seolah membuka pola pikirku menjadi lebih bijaksana. Bukan soal status sosial, tapi ini lebih menekankan kedalam perbedaan menanggapi keadaan. Ia adalah sosok yang kuat dan tabah dalam menjalani kerasnya kehidupan. Sampai pada akhirnya, aku berusaha untuk bisa lebih mengenalnya.
Hari-hari ku lalui, tak jarang kami ngobrol melalui pesan email sehingga ada batasan untuk kami bertaaruf. Rasa penasaranku mulai timbul, hingga akhirnya kuputuskan untuk memberanikan diri bertanya lebih intim secara langsung apa dan kenapa ia tiba-tiba lebih memilih menjadi seorang janda dibandingkan tetap mempertahankan rumah-tangganya.
“Assalamualaikum, Anisa?. Apa kabar? Kamu sekarang ada dimana?” Kata-kataku memulai percakapan.
Tak beberapa lama kemudia ia membalas Email-ku,
“Waalaikumsalam, A’. Anisa baik-baik saja, bagaimana dengan Aa’?, oh, ya, sibuk kerja, ya, sampai lupa ngabarin Anisa (, Nisa sekarang lagi di Bandung, A’, nganterin pesenan konsumen.”
“Wah, rame orderan, ya, Alhamdulillah. A’a baik-baik juga, kok :I . Iya, nih, kerjaan kantor banyak banget yang mau diselesaikan. Apalagi bulan depan bos ada rencana mau buka cabang Travel Haji dan Umroh Mumtaza di Semarang. Dek Nisa kapan ada waktu buat liburan ke Jakarta?, Ibu nanyain dirumah :] .”
“Mungkin lusa, A’. hari rabu Nisa udah pulang lagi ke Depok. Ibu apa kabar? Iya, inshaallah nanti Nisa mampir.”
“ Ibu sehat, Dek. Mungkin dia kangen tuh, makanya nanyain (. Dek Nisa, A’a boleh nanya?”
“Atuh sok, mangga A’a. Mau nanya apaan?” balasannya dengan logat khas Sunda.
“Tapi maaf, ya. A’a bukan bermaksud menyinggung.”
“ Iya Gak apa-apa, kok. Nyinggung juga ngga masalah bagi, Nisa, A’.”
“Kalau boleh A’a tau, sudah berapa lama Nisa nikah sama Kak Hasnan, dan kenapa bisa sampai kandas.”
“ ( :’( A’aaa…..Nisa, sedih ingatnya. Tapi, ok deh, Nisa ceritain. Dulu, waktu Ibu ma Ayah masih ada, Nisa sama sekali gak mau dijodohin dengan orang itu. Nisa udah firasat kalo itu memang jelek tabiatnya dan ternyata bener, gak nyangka A’, kalo dia itu punya kelainan Sadomasokisme. Silahkan A’a cari tau sendiri apa istilah itu. Tapi bener A’, Nisa ngeri ceritainnya. Disitulah mengapa Nisa selalui jadi bahan amarah dan selalu jadi objek kekerasan dia. Kalau A’a mau tau, selama ini Nisa sama sekali belum pernah tidur dengan dia, jangankan tidur A’, deket aja tiap kali dia megang-megang Nisa, Nisa risih dan menjaga jarak karna dia memang kasar.disitulah Nisa sering dipukul mentah-mentah seolah ada kesalahan besar yang Nisa lakuin, sebenarnya bukan demikian, tapi karena Nisa tau ajaran islam memang tak membolehkan hal tersebut. Nisa cuma tahan 2 bulan tinggal dirumah Hasnan, A’. setelah itu Nisa selalu nginap dirumah orang tua Hasnan. Sedikitpun Nisa belum pernah tidur dengan dia. Wallahu’a’lam, terserah A’a percaya atau tidak. Disitulah kenapa Nisa lebih memilih berpisah dengan Hasnan, selama Nisa mencoba bertahan mempertahankan rumah tangga, Nisa, itu hanya karena Nisa kasihan dengan orang tua Hasnan yang selalu meminta Nisa untuk tetap tinggal dan tidak memilih untuk berpisah dengannya. Apalagi setelah mendengar kalau Hasnan mau menikah lagi. Sama sekali Nisa gak tahan A’…… :’( :’( 🙁 🙁 .”
Akupun membaca pesannya dengan suka cita yang teramat dalam sampai dengan keadaan setengah tidak percaya. Namun hal tersebut memaksaku untuk tetap husnudzon kepada Nisa. Jikapun benar bahwa ceritanya demikian, dengan senang hati aku segera menikahi Nisa secepatnya. Seketika hening, tak ku lanjutkan sama sekali pertanyaan-pertanyaan yang sedari awal sudah ku susun.
Namun untuk tidak membuatnya khawatir, segera ku balas Email terakhir darinya,
“Maaf, sudah membuka kembali cerita kelam yang seharusnya kau pendam dalam-dalam bahkan mungkin ingin segera kau lupakan. Jika demikian, aku segera menyetujui permintaan dari Ibuku untuk segera menikahimu. Inshaallah, besok segera ku jemput engkau di Depok. Assalamualaikum.”
—————————–Selesai—————————–