Oleh Muhammad Bisri Mustofa
“Berbahagialah menjadi hamba
yang maha bersyukur. Karna maha dari segala maha, sifat syukurlah yang tak Tuhan ganggugugat.” (M. Bisri Mustofa)
Memang benar bahwa Tuhan tidak memiliki sifat syukur (bukan tidak punya/mau, namun hal tersebut ia khususkan pada hamba-hambanya yang bertaqwa), karena pada dasarnya sifat syukur itu sendiri dia hadirkan kepada semua mahluknya tanpa terkecuali dan itu Tuhan hadirkan sebagai sarana pembuktian rasa cinta-kasih setiap hambanya. Tuhan ingin sebuah pembuktian dari apa-apa yang Dia limpahkan pada mahkluknya. Dan di situlah rasa syukur itu sendiri tak mau Dia miliki.
Para malaikat sendiri kita ketahui memiliki sifat yang Selalu bertasbih siang dan malam tidak pernah berhenti, Suci dari sifat-sifat manusia dan jin (seperti hawa nafsu, lapar, sakit, makan, tidur, bercanda, berdebat, dan lainnya), Selalu takut dan taat kepada Allah, Tidak pernah maksiat dan selalu mengamalkan apa saja yang diperintahkan-Nya, Mempunyai sifat malu, Bisa terganggu dengan bau tidak sedap (anjing dan patung), Mampu mengubah wujudnya, Memiliki kekuatan dan kecepatan cahaya, Malaikat tidak pernah lelah dalam melaksanakan apa-apa yang diperintahkan kepada mereka, Sebagai makhluk ghaib, wujud Malaikat tidak dapat dijangkau oleh panca indera kecuali jika malaikat menampakkan diri dalam rupa tertentu seperti rupa manusia. Namun atas sifat yang Allah ciptakan kepada malaikat, mereka sama sekali tidak memegang predikat syukur.
Lain hal dengan manusia, kita sebagai hamba/mahluk yang berakal telah lebih unggul diciptakan oleh Allah dengan segala sifat yang tak miliki oleh makhluk lain. Tak terkecuali sifat-sifat tersebut banyak kita dapati dari sifat Allah sendiri. Namun sebagai hamba sudah barang tentu jika kita tak diberikan kekuatan melampaui batas sang pencipta, maha dari segala maha. Maka dari itu kita hanya diberi wewenang untuk tetap mempunyai beberapa sifat-sifat dari ke 99 sifat Allah atau Asmaul Husnah. Dan hanya sifat syukurlah yang menjadikan kita jauh berbeda dari makhluk lainnya.
Tingkatan syukur sendiri berbeda-beda bagi setiap mahluk yang Allah ciptakan. Dan hal tersebut berkaitan dengan akal yang mereka gunakan, yaitu ketika akal digunakan dengan intensitas maksimal sebagai hamba. Semakin pandai manusia menggunakan akal untuk menyikapi jalan hidupnya, semakin pandai pula ia bersyukur. Dan semakin mereka kekurangan dan tak pernah puas dan tunduk kepada nafsunya, maka semakin kufurlah ia.
Sering kita dapati para hamba-hamba Allah yang sudah diberi kesempatan memiliki kekuasaan, tidak begitu maksimal mengaplikasikan sifat syukurnya. Adapun yang sudah pandai bersyukur, tetap saja kadang kala ia tak pintar menyembunyikan rasa syukur yang seharusnya, Riya’ misalnya. Dan untuk yang belum pandai bersyukur, bukan tiada kesempatan, melainkan ia selalu diikuti atau menempatkan nafsu di depannya. Sudah jelas orang yang memprioritaskan nafsu ketimbang ketawadhu’annya, ia akan menjadi salah satu hamba yang merugi. Dilain sisi ia mampu namun kekurangan rasa syukurnya, dan sisi lainnya ia mampu namun mengingkari rasa syukur yang Allah berikan.
Sedari itulah, dalam kesempatan hidup yang masih Allah berikan saat ini, kita sebagai makhluk yang diutamakan, setidaknya begitu pandai mencintai Allah dengan sifat syukur. Tidak ada cinta yang Allah harapkan dari setiap hambanya dimuka bumi, kecuali rasa syukur dalam merayu, dan menempatkan kehadirannya di sisi kehidupan kita sebagai hamba.
Bengkulu, 07 Juni 2018