Jakarta – Bursa Efek Indonesia (BEI) mencatatkan lebih dari 920 saham yang bisa diperdagangkan hingga pertengahan 2024, mencakup berbagai sektor usaha. Meskipun begitu, kebanyakan investor hanya memiliki sekitar 20 saham dalam portofolionya. Lalu, bagaimana cara memilih saham yang sesuai dari sekian banyak pilihan yang ada?
Sebelum memilih saham, seorang investor perlu memahami profil risikonya terlebih dahulu. Salah satu cara untuk mengetahuinya adalah dengan mengisi kuesioner profil risiko yang biasanya disediakan oleh perusahaan sekuritas. Alternatif lain, investor bisa menjawab pertanyaan di beberapa laman online yang menawarkan tes serupa.
Hasil dari kuesioner ini akan mengklasifikasikan investor ke dalam tiga tipe, yaitu agresif, moderat, dan konservatif. Investor agresif adalah mereka yang siap menerima risiko besar untuk potensi keuntungan yang lebih tinggi. Sebaliknya, investor konservatif lebih menghindari risiko besar dan lebih memilih keuntungan yang lebih aman meskipun minim. Sementara itu, tipe moderat berada di tengah-tengah, antara agresif dan konservatif.
Setelah mengetahui profil risiko, investor dapat mulai memilih saham yang tercatat di pasar sekunder atau papan perdagangan BEI. Salah satu kelompok saham yang terkenal adalah saham-saham blue chips yang masuk dalam daftar indeks LQ45. Indeks ini mengukur pergerakan harga saham dari 45 perusahaan besar dengan kapitalisasi pasar yang besar dan stabil.
Saham blue chips biasanya memiliki harga yang relatif mahal dan kenaikan yang stabil, sehingga cocok untuk investor konservatif dan moderat. Namun, bagi investor dengan modal terbatas, pembelian dalam jumlah besar mungkin tidak memungkinkan karena harga saham yang tinggi.
Perusahaan yang memiliki saham blue chips umumnya memiliki brand yang kuat, sudah lama berdiri, dan keuangan yang stabil. Selain itu, perusahaan-perusahaan ini biasanya membagikan dividen secara rutin, sehingga meskipun volatilitas harga saham rendah, investor tetap mendapatkan keuntungan dari dividen.
Beberapa saham blue chips yang masuk dalam indeks LQ45 antara lain adalah Bank Central Asia Tbk (BBCA), Bank Rakyat Indonesia Tbk (BBRI), Telekomunikasi Indonesia Tbk (TLKM), Astra Internasional Indonesia Tbk (AASI), dan Bank Mandiri Tbk (BMRI). Selain itu, indeks LQ45 juga mencakup saham-saham lain dari perusahaan besar yang telah teruji kinerja keuangannya selama beberapa dekade.
Namun, bagi investor agresif yang mengharapkan keuntungan lebih tinggi, saham second layer bisa menjadi pilihan. Saham-saham ini berasal dari perusahaan menengah atau perusahaan besar yang berdiri belum lama dan sedang dalam tahap pertumbuhan. Saham-saham ini biasanya memiliki kapitalisasi pasar menengah, harga yang lebih terjangkau dibandingkan blue chips, serta volatilitas yang lebih tinggi.
BEI memiliki indeks saham IDX SMC Composite yang mencakup saham-saham dengan kapitalisasi pasar antara Rp1 triliun hingga Rp50 triliun. Selain itu, ada juga indeks IDX SMC Liquid yang berisi saham-saham di kelompok menengah yang likuid atau aktif diperdagangkan.
Investor yang tertarik pada saham second layer harus siap menghadapi risiko yang lebih tinggi. Perusahaan menengah ini mungkin masih dalam tahap pengembangan proyek atau produk yang belum terbukti di pasar, sehingga ada kemungkinan volatilitas harga saham yang tinggi. Meski perusahaan menengah ini bisa menghasilkan laba, mereka mungkin tidak membagikan dividen jika laba digunakan untuk ekspansi usaha atau kebutuhan pengembangan lainnya.
Beberapa saham yang masuk dalam indeks IDX SMC Composite antara lain Semen Indonesia Tbk (SMGR), Indah Kiat Pulp & Paper Tbk (IKNP), Mitra Adi Perkasa Tbk (MAPI), Bank Jago Tbk (JAGA), dan Jasa Marga Tbk (JSMR). Investor disarankan untuk mempelajari sektor usaha, rencana aksi korporasi, serta proyeksi kinerja keuangan masing-masing perusahaan sebelum mengambil keputusan investasi. Pada akhirnya, keputusan dan konsekuensi investasi berada di tangan para investor.