Pagi menderu. Burung-burung camar terbang mengelilingi gedung Ramayana. Tampak asap hitam mengepul, membentuk lingkaran pekat–seperti wedus gembel. Tangis riuh turut mewarnai kebakaran di jalan nol kilometer.
“Kebakaran…kebakaran!”
“Ya Allah, selamatkanlah anakku.” Terdengar jerit juga rengekan dari seorang ibu, tak jauh dari trotoar jalan depan parkir utama.
Para pemadam kebakaran sambut-menyambut, menyemprotkan air dari selang-selang karet, menjinakkan kobaran api yang hampir melahap separuh gedung eks pola, gedung terbesar di pusat kota yang setiap harinya memproduksi ratusan lembar kain batik besurek.
Para branwir sedikit kesulitan memasuki ruang tengah, sumber menyala api. Lantai tujuh sudah hampir tak nampak lagi. Atap bangunan juga sudah rata dan jadi abu, terbang bersama angin yang sedikit kencang pagi itu. Langit turut menghiasi drama penyelamatan pegawai juga barang-barang berharga lainnya. Dengan terpaka para branwir menggunakan alat peledak untuk merobohkan Ramayana. Alih-alih memutuskan jaringan api agar tidak menyebar ke gedung lain.
“Siapkan alat peledak! Tanam pada masing-masing pondasi,” teriak salah satu Kepala Branwir kepada operator Damkar.
“Dirobohkan, Pak. Bapak yakin?!” Instruktur damkar sedikit ragu. Didekatinya sumber suara itu.
“Ini terlalu bahaya. Jika tidak dirobohkan api akan menyebar cepat ke gedung-gedung lain.”
“Baik, Pak. Namun sebelumnya kami pastikan dulu bahwa di dalam gedung sudah tidak ada orang.”
“Oke. 10 menit!”
Beta, seorang yang dipercaya untuk menjelajahi ruang tengah gedung untuk memastikan bahwa tidak ada lagi orang yang berada di dalam sana. Meski dirinya harus bertaruh nyawa, bukan sebuah masalah demi meminimalisir jatuhnya korban jiwa.
“Waktumu sepuluh menit. Lebih dari waktu yang ditentukan, kami ambil kebijakan lain.”
“Siap Komandan!”
Mobil pemadam kebakaran jenis Snorkle atau Turntable Tender disiapkan beserta perlengkapan penyelamatan. Beta menaiki lantai demi lantai menuju ruang pusat–lantai lima. Ditemani Yudi dan satu orang lainnya, mereka mulai menyisir ruang-ruang dalam gedung.
Kepulan asap menghalangi pandangan beta. Dengan kapak ia mendobrak pintu-pintu ruangan, sembari berteriak mencari korban yang terperangkap.
“Ada orang di dalam?!”
Bruaakkkh…
Atap berjatuhan. Suara sirine hampir tak terdengar lagi. Sayup-sayup suara api nyaris terdengar di telinga Beta, menembus helm dan baju anti panasnya.
“Ada orang di dalam?!” lagi-lagi Beta berharap tak ada satu pun orang yang menjadi korban keganasan si jago merah. Beta melihat lengan tangannya, ragu kalau waktu tidak cukup lagi.
Sudah sebelas ruangan Beta masuki. Waktu juga tinggal tiga menit lagi, “Aku harus segera keluar.”
Belum sempat mendobrak jendela sebagai jalan keluar, ada teriakan kecil–hampir tak terdengar– meminta pertolongan. Beta segera melangkah mundur mencari sumber suara tersebut. Alhasil, tak jauh dari ruang terakhir yang ia telusuri, ada seorang perempuan paruh baya terkulai tak berdaya.
Beta segera mengangkatnya menuju jendela–keluar. Diikatkan pada pinggang perempuan itu tali pengaman dan selanjutnya dilemparkan kepada tim yang berada di bawah.
Beta melihat orang-orang di bawah sana seperti menari. Melambai-lambaikan tangannya dan juga hilir mudik seperti sedang meragakan gerakan salsa.
Tabung oksigen Beta tersendat. Api terlihat sudah mengepung dinding-dinding ruangan, menyisakan rangka pada bagian jendela tempat terakhir menuju ke bawah. Setelah pengait sudah benar-benar terpasang, Beta segera menurunkan perempuan itu. Beta sadar perempuan itu sedang pingsan. Ia pun tak bisa berbarengan turun dengan seutas tali–beban tali hanya kuat mengantarkan satu orang ke bawah.
Waktu sepuluh menit sudah melewati batas dentingnya. Api juga sudah terasa menyengat. Beta ingin sekali melompat dari jendela. Hanya saja perempuan yang sudah layak ia selamatkan, harus benar-benar sampai ke dasar lantai. Sembari menahan tali agar tetap berimbang, Beta menatap wajah perempuan itu.
“Jauh lebih muda dariku. Dia layak untuk hidup lebih lama,” pikir Beta tajam seraya merasakan api benar-benar memeluknya.
Padang Jati, 09 Mei 2019