Sejak akhir tahun 2022 hingga awal tahun 2023 bergulir, masyarakat secara umum mungkin belum mengetahui secara persis bahwa di DPR sedang digodok sebuah Rancangan Undang-Undang Energi Baru Terbarukan yang diistilahkan dengan RUU Power Wheeling. Kalau diterjemahkan secara harafiah 2 koda kata ini berarti roda kekuatan atau roda kekuasaan. Meski makna yang dikandung 2 kosa kata tersebut dalam pembahasan RUU Power Wheeling ini mungkin berbeda dan tidak bisa diterjemahkan secara harafiah.
Namun demikian, apapun makna tersembunyi di dalam bahasa yang tak ramah dengan telinga masyarakat awam soal energi ini, ada kekuatiran dan ancaman besar terhadap existensi Konstitusi UUD 1945 dan ancaman terhadap terlindasnya PLN sebuah BUMN yang mengurusi hajat hidup orang banyak dan mungkin akan dijadikan budak pengangkut bisnis swasta untuk memperkaya kelompok oligarki yang selalu ingin merusak tatanan sosial, tatanan ekonomi dan tatanan hidup masyarakat demi kepentingan kelompoknya.
Secara garis besar, RUU ini mengandung kebaikan-kebaikan untuk pertumbuhan Energi Baru dan Terbarukan yang harus didukung. Karena memang bauran energi bersih dalam kehidupan sehari-hari kita harus ditingkatkan porsentasinya untuk merawat bumi. Menurunkan panas bumi dan mengurangi cemaran udara dan oksigen yang kita hirup. Bumi sudah tua, perlu dan butuh perawatan dan keperdulian kita semua.
Namun selain kebaikan-kebaikan tentang energi baru dalam RUU tersebut, ada 1 hal yang dimasukkan dan akan menjadi roda yang melindas PLN dan akan membawa PLN masuk kedalam mesin waktu menuju pembunuhan secara perlahan. Bisnis PLN yang mengurusi hajat hidup orang banyak, lama kelamaan bisa berpindah tangan ke pihak swasta atau setidaknya PLN bisa hanya menjadi tukang angkut, tukang panggul dan tukang salurkan bisnis swasta sementara bisnisnya mengurusi kehidupan rakyat menjamin pasokan listrik harus tertinggal.
Lantas apa kira-kira pasal yang mematikan bagi PLN tersebut hingga patut disebut roda pelindas PLN? Disana dimasukkan bahwa PLN wajib memberikan sarana prasarana atau jaringan infrastruktur milik PLN untuk digunakan oleh swasta dalam menyalurkan listriknya kepada konsumen secara langsung. Swasta yang membangun pembangkit berbasis EBT diberikan kemudahan menggunakan jaringan milik PLN yang dibangun dengan uang rakyat (APBN) untuk menyalurkan listriknya langsung kepada konsumen pengguna. Artinya PLN dipaksa secara langsung menjadi budak pemikul, tukang panggul, tukang angkut listrik swasta dengan sarana milik PLN dan dibayar dengan harga yang tidak juga jelas diatur namun hanya dinyatakan akan diatur oleh pemerintah.
Sungguh RUU POWER WHEELING ini akan menjadi roda yang melindas PLN, menggilas PLN hingga satu saat menjadi sekarat dan mati. Pada akhirnya PLN menjadi pekerja atau jadi sekelas tukang rental jaringan untuk pembangkit swasta. PLN hanya dapat receh dari sewa jaringan, tapi listrik pembangkitnya tak terjual dan mati pelan-pelan.
Sementara PLN wajib membayar daya dari pembangkit meski tak terjual kepada konsumen. Pertanyaannya, apakah kira-kira dana sewa jaringan PLN itu akan mampu menutupi pembayaran kelebihan daya tak terpakai oleh PLN? Tentu tidak. Di situlah PLN akan dimatikan perlahan.
Apakah rakyat harus membiarkan permainan para oligarki terus terjadi? Apakah ada persekutuan antara oligarki dengan penguasa? Apakah ada permainan bawah tangan antara oligarki dengan Partai Politik yang menghuni DPR sebagai lembaga legislatif pembuat Undang-undang? Ini yang menarik.
Kita mengetahui bahwa beberapa hari lalu, pemerintah menyatakan menarik dan mencabut pasal tentang POWER WHEELING ini terutama pasal yang mewajibkan PLN menyerahkan jaringan miliknya untuk mendistribusikan listrik swasta. Artinya, persekutuan antara oligarki dengan penguasa mungkin tidak ada. Tapi mengapa di DPR masih seperti tersimpan semangat membara untuk tetap memasukkan pasal yang akan mematikan PLN ini? Adakan pembagian suap disana hingga anggota DPR atau Partai Politik kita rela menabrak konstitusi dan melindas PLN? Rakyat harus mengawasi proses pembahasan RUU ini di DPR.
Rakyat harus menandai Partai Politik yang mendukung pembunuhan terhadap PLN. Rakyat harus menjauhi partai politik yang mendukung pasal tentang POWER WHEELING yang akan membuat rakyat menderita karena mahalnya harga listrik. Dan satu hal, rakyat harus menghukum politisi dan partai politik yang tidak mendukung konstitusi dengan berpihak kepada oligarki yang selalu membuat masalah kepada rakyat demi keuntungan kelompoknya.
Sebagai politisi dan juga sebagai pengamat energy, saya sangat berharap kepada teman-teman partai politik agar menghentikan niat memasukkan pasal tentang POWER WHEELING yang mewajibkan PLN memberikan infrastrukturnya digunakan oleh swasta. Sarana itu milik rakyat, dibangun dengan uang rakyat, jangan gunakan memperkaya swasta.
***
Ferdinand Hutahaean, Politisi dan Pengamat Energy & Direktur Eksekutif Energy Watch Indonesia