Sewindu sudah negeri ini tak ramai lagi oleh suara berisik rintikan hujan, geruduk petir, pekikkan gaduh orang berteriak minta keadilan. Rumah diujung barat semenanjung itu tetap tegak berdiri. Meski sesekali tedengar berderit kayu bergesek, membuat gigi geraham ngilu. Itulah Rumah Bengkulu yang dihuni sepuluh orang yang tiap hari beraktifitas.
Ironis dan pilu Addien, seorang pemuda yang pernah tinggal di Rumah Bengkulu, beberapa puluh tahun silam. Dari atas bukit di pinggiran negeri, lamunan Addien menerawang dan beberapa intuisi yang mengharuskan dia bertanya-tanya tentang Rumah Bengkulu itu. Apalagi saat dirinya tahu kalau rumah itu atapnya kini telah tiris, dindingnya yang terbuat dari pelupuh bambu kian jarang dan tiupan angin masuk menghantarkan garam melekat di sela-sela kosen kayu.
Pondasi yang mereka buat dahulu kini sudah tidak simetris lagi, bergeser. “Ooh…..Rumah yang sangat berjasa dan banyak menyimpan sejarah yang tak tekuak. Kemana paraa generasi penghuni Rumah Bengkulu itu dulu ya?” lamun Addien, yang ditonggak rumah masih tertulis namanya, M Addien Nulhaq.
Sayangnya, torehan namanya di Rumah Bengkulu itu kini tak tampak jelas lagi. Rumput Ilalang sudah meninggi dan bercak bekas kumbang menodai kayu.
“Nah…..Tukang. Ya……Tukang kata kuncinya”, kata Addien berteriak.
Tapi dia kembali duduk lagi, usai gegirangan sesaat. Dipikirkannya, Rumah Bengkulu membutuhkan tukang yang banyak untuk memperbaikinya. Seandainya, Rumah Bengkulu itu salah memilih tukang, maka rumah itu akan runtuh. Hilang kenangan. Hilang sejarah yang banyak tersimpang dirumah tua itu.
“Bagaimana kalau aku kontak saja sejawat yang ada, usul agar rumah diluluhlantakkan dan dibangun Rumah Bengkulu yang baru, yang kokoh, yang kuat . Mungkin saja ada yang setuju”, fikir Addien yang kini tinggal menetap jauh di ujung timur negeri. “Ah….Ide konyol itu”, decapnya sembari berdiri pergi.
****
Addien menelusuri jalan setapak untuk mencapai jalan besar beraspal peninggalan Belanda, mencari tahu satu-satunya yuniornya saat tinggal di Rumah Bengkulu yang konon masih menetap dibalik lereng bukit.
Namanya Ronsyah, yang kini menjadi penganjur dan pembangun negeri. Saat keduanya bertemu, mereka lepas rindu. Addien menceritakan pemikirannya. Belum usai cerita, Ronsyah langsung memutuskan pembicaraan.
“Maaf senior, saya sangat tidak bersependapat. Meruntuhkan Rumah Bengkulu, bukan ide yang brilian. Angin masuk tak akan meruntuhkan rumah. Tiris kucuran hujan tak akan melapukkan kayu. Biarlah alam berkehendak sesuai keinginannya. Apapun yang terjadi, itulah cerita hidup yang bertambah”, jelas Ronsyah.
Addien tampak melongo mendengar pemaparan yuniornya. Tak tampak raut paham dari penjelasan Ronsyah, selain mengambil esensi ketidakpersetujuannya saja dibenaknya. Lama dirinya memandang Ronsyah, yunior yang pola pikirnya masih tradisional.
Sosok penganjur yang enggan meruntuhkan dan membangun. Original lebih diutamakan, meskipun hilang, biarlah alam yang menghilang Rumah Bengkulu berjuta kenangan itu.
Hari, bulan berganti tahun dengan berbagai musim. Patah tumbuh hilang berganti. Putik bumbang jatuh, kelapa tuapun jatuh. Rumah Bengkulu benar dihantam alam. Lapuk karena usia. Hembusan angin senai-senai, tirisan air hujan menyisahkan satu ruangan belakang yang enggan roboh, karena ditahan akar pohon beringin besar.
Penganjur negeri kini kian berganti. Tak ada lagi ceritera history. Rumah Bengkulu tak ada lagi dalam catatan anak negeri. Pameo latin yang menyebutkan “yang tertulis tinggal tetap” tak bersemayam lagi di benak generasi anak negeri. Entah massanya zaman realitis ataukah pragmatis, sudah tidak bisa diukur lagi dengan parameter akal.
Jiwa……Jiwa menjadi konsens yang konon lagi bergaung untuk dibangun. Bukan memikirkan Rumah Bengkulu yang kini telah membaur dengan tanah dan ditompangi oleh rumput ilalang.
“Bukankah jiwa itu pangkal kerusakan. Tapi sisi lain, kesadaran jiwa pangkal kebangunan sebuah generasi. Bukankah saat Ronsyah masih menjadi penganjur negeri, berfikir nostalgia Rumah Bengkulu dibiarkan merupakan kerusakan dari jiwa?” lamun Addien yang masih berfikir soal Rumah Bengkulu, meskipun generasi terus berganti.
Fanatismsme kini telah padam. Addien berfikir dihari tuanya, kalau generasi sudah sempit paham yang amat mendalam. Penganjur negeri menelorkan cara berfikir tanpa batas, tanpa kaedah dan strata.
***
Benny Hakim Benardie, Cerpenis Tinggal di Bengkulu Kota