Mak Ipah selalu bangun pagi, sebelum azan subuh berkumandang. Ia bergegas menyiapkan dagangannya berupa makanan ringan dan 3 jenis gorengan lainnya untuk kemudian dijajakan ke kos-kos mahasiswa, dan seputaran kampus swasta Unila.
Yang selalu jadi unggulan Mak Ipah kala berjualan adalah rengginang.
Rengginang adalah makanan sejenis krupuk yang berbahan baku beras ketan putih dipadukan dengan tepung tapioca, diolah dengan sedikit bumbu khas, dan kemudian sedikit pula dicampur remahan daun ganja tua. Rengginang yang digoreng dengan olahan tersebut menjadi lebih renyah, gurih, dan wangi serta melekat hasrat di lidah penikmatnya.
Mak Ipah beruntung. Semenjak ia menambahkan remahan daun ganja di dalam adonan rengginangnya, para mahasiswa jadi semakin banyak yang membeli, berbeda saat pertama kali ia hanya menjual gorengan dan bubur sukoi.
Ganja yang di dapat bukanlah sembarangan. Pasalnya, Mak Ipah selalu memetik daun ganja tua di pelataran rumah tua kosong yang sudah lama ditinggalkan pemiliknya. Tak jauh dari sudut kota Barokoto, pohon ganja yang tumbuh subur di sekeliling rumah, tidak tampak sedikitpun oleh penduduk lokal. Karena keberadaannya sendiri diselingi oleh semak belukar, dan latar belakang rumah tersebut yang konon berhantu-lah yang membuat orang enggan melewatinya, jauh di radius 1 Km.
Namun Mak Ipah, sudah terbiasa oleh ketakutan-ketakutan tersebut. Ia akan lebih takut jika esoknya tidak bisa makan. Di mana Mak Ipah adalah perempuan renta yang hidup sebatangkara. Tanpa anak-cucu, dan juga penghasilan yang layak.
Sebetulnya, daun ganjalah yang selalu membuat dagangannya laris manis.
—
Azan yang berkumandang nyaring, menghentikan kegiatan Mak Ipah. Ia langsung menuju sumur kecil untuk berwudu.
Shalatnya selalu lama berlangsung. 20 menit, ia habiskan waktu untuk menunaikan shalat dua rakaat.
Di pertengahan shalatnya, ia selalu melamunkan anak semata wayangnya yang kini entah di mana rimbanya. Ia menyimpan harap dan dendam yang terus tersimpan dalam benak ketika mengingat Putri, mahasiswi idola di kampus ternama di Bengkulu.
Latar belakang kehidupan yang susah, mengurungkan cita-cita Putri untuk bisa menyelesaikan pendidikan strata 1-nya. Hasil pendidikan dari beasiswa ternyata tidak semaksimal dan seefektif yang dibayangkan. Sudah terlanjur jauh Putri meninggalkan Ibu kesayangannya, justru di tengah perantauan yang keras ia harus dihadapkan dengan problematika baru. Prostitusi Akademisi.
Yang Mak Ipah tau, Putri setiap harinya hanya belajar dan belajar. Sedang ia sendiri tak pernah sadar, bahwa dalam 1 tahun terakhir, perempuan semata wayangnya harus dicerca keadaan yang mendorongnya ber-asusila. Demi memenuhi kebutuhan primer maupun sekundernya, melebihi dari biaya hidup yang diberikan. Mak Ipah juga hanya mampu memberikan uang seadanya. Bisa dihitung. Barangkali, 100-200 ribu satu bulan.
Namun, demikian tak pernah Mak Ipah ketahui. Sampai akhirnya, berita di layar kaca nasional mengabarkan duka lara yang menghancurkan harapan mak Ipah.
Putri dibunuh setelah kabarnya ia melarikan uang ratusan juta dari pengusaha kaya raya.
Kabar mencuat dalam hitungan jam. Mak Ipah yang saat itu masih segar bugar, sontak jatuh sakit dan mengalami depresi. Namun tak lama kemudian, berangsur, ia mulai mengiklaskannya. Meski sampai saat ini, Mak Ipah selalu berharap bahwa Putri masih hidup. Dan yang ada dalam berita bukanlah ia.
Sadar lamunannya membatasi kerinduan pada sang anak gadis, kini ia harus tetap hidup demi melunasi dosa-dosanya yang lama, bersama dosa putrid yang dicintainya.
Mak Ipah tak sadar, bahwa ia sedang mengerjakan dosa baru di alam antah barantah ini.
– Mahasiswa Kos
Pukul 06.25 wib., Mak Ipah beranjak pergi menjajakan dagangannya ke pusat kota dan perkampusan. Prioritasnya, ia selalu mendahulukan diri singgah di kos-kos mahasiswa kampus UBM. Dalihnya, mahasiswa tidak sempat membuat sarapannya.
Ia begitu riang kala anak-anak gadis menyapanya. Terlebih ketika ada yang membeli. Ia teringat pada nama Putri, dan berharap menemukan sosok Putri di setiap gang-gang yang ia lewati.
“Mak! Mampir dulu. Minum.” Ujar beberapa mahasiswi dengan ramah ketika Mak Ipah lewat.
Mereka sudah hapal betul kapan dan jam berapa Mak Ipah sampai di komplek mereka. Meski kadang mereka tak membeli, dengan basa-basi menawari Mak Ipah makan dan minum serta istirahat di beranda kos.
“Mak. Beli rengginang!” Panggil Nuri, pelanggang setia Mak Ipah.
“Mak, mak jualan kok ngga pernah ngomong atau teriak-teriak, sih? Manggil kami, kek.” Celetuk Nuri. Mak Ipah hanya diam sembari melebarkan bibir rentanya.
“Ya, udah, mak. Ini!” Nuri menyerahkan 5 lembar uang ribuan. Mak Ipah pun melanjutkan perjalanannya.
Sesampai di sebuah kos, ia menyandarkan daganganya dan masuk ke dalam. Kos terbuka lebar, tapi hening tanpa ada satupun pergerakkan,
Mak Ipah masuk tanpa mengetuk pintu. Ia sudah terbiasa seperti itu dan anak-anak memakluminya. Diketahui banyak orang, Mak Ipah adalah seorang yang jarang berbicara. Kecuali disaat keadaan genting.
– Dinamika Ah Ih Uh
Cahaya mentari sedikit meredup. Angin pantai juga berhembus sampai ke pelataran rumah dan kos-kos. Sepertinya akan turun hujan.
Mak Ipah masuk ke halaman ‘Rindu kos’, kos elit yang hampir menyamai wisma. Ada 15 kamar dalam kosan itu, dan kesemuannya dihuni oleh para mahasiswi dengan perekonomian menengah ke atas. Mereka remaja putri yang kuliah di beberapa perguruan tinggi negeri maupun swasta.
Mak Ipah menjadi langganan utama bagi mahasiswa-mahasiswi yang berada di dekat kawasan kampus. Selain efektif-nya makanan ringan yang dibawa Mak Ipah untuk sarapan, notabene mahasiswa juga adalah orang yang paling malas memasak. Siangnya, mereka lebih memilih membeli nasi bungkus.
Dengan langkah tergopoh, masuklah Mak Ipah ke dalam kosan Rindu. Ditelusurinya sampai ke ruang dapur, dan tak ditemuinya seorang pun. Suasana kos masih begitu sepi. Beberapa pintu sudah terkunci menandakan ada sift pagi diperkuliahan, atau memang belum pulang dari acara menginapnya.
5 langkah Mak Ipah sontak terhenti karena mendengar desisan di pintu kamar terakhir. Ia mendekatkan daun telinganya ke kamar tersebut.
“Asssshhhh.” suara itu pun kian terdengar jelas. Mak Ipah mengira itu adalah suara ular. Namun diperhatikannya pintu tersebut tidak terkunci dari luar. Jelasnya, Vani, perempuan cantik penghuni kamar tersebut bakal teriak jika memang ada ular di dalam kamarnya.
“Ah.” Kini desisan itu berubah menjadi rintihan samar. Memang tidak begitu jelas, namun telinga Mak Ipah masih sangat tajam untuk menguping dari jarak jauh.
Mak Ipah ingin segera mengetuk pintu kamar Vani, namun sekali lagi didengarnya rintihan dengan sedikit berintonasi.
“Ah..Uh”.
“Kak, pelan ajo.” Dengan sedikit terkejut Mak ipah segera melangkah mundur dari hadapan pintu. Ia mengira, Vani tengah berduaan dengan seseorang di dalam kamarnya. Tak peduli dengan apa yang dilakukan di dalam, Mak Ipah pun segera keluar.
Namun ia justru melihat sesuatu yang lain. Pintu kamar pertama yang ia lewati, terbuka sedari tadi.
Dengan rasa penasaran pula Mak Ipah mengintip kamar tersebut, dan didapatinya dua sejoli tengah berpakaian setengah bugil, sedang beradu mesra.
Mak Ipah kaget, dan segera keluar dari kosan tersebut. Dadanya berdegub kencang saat melihat dua kamar saat ini, tengah berlangsung kegiatan di luar nalarnya. Asusila.
Mak Ipah tak lagi semangat melangkahkan kakinya berjualan. Ia berniat untuk kembali ke rumahnya. Meski kue yang ia bawa baru laku 20 ribu rupiah, tapi hasratnya mencari rezeki hari ini malah berbalik lengah.
– Mak Ipah dan Rengginang Terakhir
Tiba-tiba hujan turun dengan derasnnya. Langit kelam menggambarkan kemurkaan alam. Mak Ipah menerjemahkannya sebagai tangis semesta, melihat tingkah konyol manusia.
Mak Ipah segera berteduh di bawah halte.
Tak ada satupun orang ditemuinya sepagi itu, di tengah hujan dingin. Semua orang pasti melanjutkan tidurnya. Kecuali yang benar-benar menghidupi anak-istrinya, bahkan orang seperti Mak Ipah.
Masih terbayang wajah dua sejoli yang beradu kasih bukan pada tempatnya, Mak Ipah menangis di reruntuhan hujan. Ia hanya teringat pada puterinya kala itu. Bagaimana wajahnya yang polos, harus bercengkrama dan beradu kasih denga pria hidung belang, dan bermalam di hotel, sama persis dengan yang ia temui beberapa saat lalu. Mungkin tidak hanya sekali. Bahkan berkali-kali kala ia butuh sesuatu untuk dibeli.
Mak Ipah terus memandang rintikan hujan dari langit dan menerawang bayangan dari seberang jalan. Hatinya berdegub kencang saat tak sengaja menangkap sesuatu yang tak asing di matanya. Ada firasat kuat yang mengatakan bahwa ia tengah melihat wajah yang dirindukannya selama ini. “Tapi, ah apa mungkin”tuturnya dalam hati.
Bayang itu lari lewat di hadapnya, dan segera menjauh dari tempat Mak Ipah berdiri. “Putri!?” teriakan Mak Ipah hanya sampai terdengar berjarak 2 meter saja di bawah deru angin dan lebat hujan. Dengan keyakinan tinggi, Mak Ipah terus memanggil nama itu.
Spontan, Mak Ipah segera turun dan menyebrangi jalanan itu untuk segera mengejar sosok yang mirip putrinya.
”Putri?” tanpa basa-basi dan memperhatikan kiri-kanan jalan, ia berlari meninggalkan dagangannya di halte.
“Putri!”teriakan lantang berbalas dengan suara klakson yang tidak diduga,
“Tiiiiiiiiiiiiittitiiiiiiiiiit……Bruuuakkkk” sebuah mobil sedan melaju kencang dan menghempaskan tubuh renta Mak Ipah.
Darah segar mengalir di sekujur tubuh perempuan tua. Sang pengendara mobil tidak berani turun, dan beberapa saat kemudian, ia melajukan kendaraannya meninggalkan seorang diri tubuh yang tergeletak di jalanan.
***
Bengkulu, 100219