Kopi dan rinai hujan semakin mendekap kesepianku. Senja bakal tak hadir petang ini. Ya sudah, lebih baik kuputuskan untuk tidak beranjak pergi dari kursi kerjaku yang makin lama kian membosankan.
Sudah hampir satu dekade aku di sini menekuni kekosongan. Menurutku, segala sesuatu yang membosankan adalah kekosongan hakiki. Tak bisa kupungkiri, semua jejak dan langkah yang pelan-pelan kuhadapi sesaat membuat semuanya hening dan tak bergerak. Mati langkah atau terlampau jauh melangkah?
Semenjak saat itu, semuanya jadi hitam putih dan tak berintonasi, aku mulai meninggalkan sepatah duapatah kata demi menjejal kata baru.
Mengamati.
Berjuta orang yang pernah kulalui, tidak ada seorangpun sanggup menghadirkan metafora kecuali orang fakir.
Ada dua sisi yang tak pernah bisa ditafsirkan secara instan dari mereka. Pasalnya, setelah berpuluh tahun hidup dalam kefakiran, mengapa mereka tetap gagah menerima? Konsonannya adalah saat mereka kelaparan. Apakah mereka pasrah? Atau tak lagi mau mengungkit-ungkit kesusahan itu? Entahlah.
Banyak kita temukan mereka dalam keadaan hilang akal. Segala sesuatu yang sifatnya parokial, tidak ada pemberontakkan terucap dari mulutnya. Namun bisa jadi hatinya membantah. Tapi itulah mereka, orang yang paling pandai menyembunyikan kesah di hadapan orang lain.
Meminta-minta adalah kekuatan yang tercipta disaat rasa malu tidak lagi lucu. Lebih lucu lagi apabila sanggup memberi, namun malu melakukannya.
Banyak dari golongan kita terlalu malu untuk memberi kepada para fakir. Latarbelakangnya tak lain hanyalah dogma pembenaran. Memangnya siapa yang tidak tahu istilah ‘meminta-minta adalah hal keji’. Bukankah itu pembenaran saja?
Coba kita dalam posisi tak sanggup berakal untuk menghasilkan sesuatu, namun pintasannya adalah meminta. Terbayangkah jika demikian adalah sebuah pembenaran saja. Sekali lagi, coba kita dalam posisi jatuh cinta, namun tak sanggup menerima kenyataan bahwa kita buta telah menganggapnya cinta. Padahal kenyataannya tidak demikian.
Atau, bisa jadi kita hanya sedang berhalusinasi?
***
Semenjak Rinto keluar dari penjara, anjing di rumah tetanggaku jadi sering menggonggong. Untung saja anjing itu selalu terikat. Jika tidak, mungkin sudah terjadi adegan perkelahian yang saling tikam antara anjing dengan manusia berkepala anjing. Bukan, maksudku itu adalah metafora tingkah laku manusia yang menganjingkan diri.
Tak dapat dipungkiri, hampir setiap hari gonggongan anjing itu terus saja bergema di telinga orang waras sepertiku. Namun, sebagian besar dari mereka, tetanggaku, justru tak mendengarnya sama sekali.
Maklum. Mayoritas perumahan kami ditinggali oleh para anggota dewan yang notabene sibuk dengan segala urusan maupun pekerjaannya.
***
Melihat sepintas, kota kami terlihat seperti kota mati. Segala kegiatan tentang manajemen ekonomi maupun kegiatan sosial, selalu dikerjakan beritme.
Di sini, kau tidak akan bisa membeli sarapan di bawah jam 10 pagi. Kenapa demikian adalah hal biasa. Warung-warung maupun rumah makan hanya dibuka setelah semua orang sudah tak lapar. Alhasil kau bakal siap sedia mengisi perut dengan makanan ringan maupun makanan instan lainnya.
Untuk malamnya, kau akan temui kota pesat dengan gaya pembangunan ini, seketika mati. Jam 21 pemilik toko mulai menutup lapaknya dan kemudian kembali kerumah. Lampu-lampu jalanan tak hidup merata, menambah keheningan tercipta disegala sudut matamu memandang. Maklum, kami hanya menerapkan 8 jam kerja dan tidak ada konsekwensi lembur di malam hari.
Sesungguhnya hal tersebut adalah biasa di lain sisi kota ini tengah bangkit dari stigma keterpurukan. Bayangkan, seluruh penjuru tau bahwa kota ini menempati urutan kedua termiskin di pulau Sumatera. Dengan jalanan yang bertumpang tindih ditambal, lampu-lampu kota mati, pengangguran terbanyak masa ini, pembangunan yang belum merata, maupun tingginya kebutuhan pendidikan membuat masyarakat kecil hanya bisa pasrah berserah diri pada dikotomi sosial.
Hehe. Aku tak cukup kuat menafsirkan angkanya. Hanya saja, mmh, silahkan datang ke kotaku.
***
Rinto, tetanggaku, adalah seorang anggota DPRD yang terjerat kasus korupsi, terbesar sepanjang sejarah di Kota kami. Kebiadabannya dalam memakan uang rakyat telah mengalahi sejarah-sejarah yang ada di Kota Semarak.
Lebih dikenal dengan Bumi Rafflesia, bumi sejuta sejarah yang menyimpan kenangan masa lalu. Puing-puing perjuangan para penggawa Malabero beserta Sekutu Imam Sentot Alibasah dalam mendesak pasukan Inggris untuk enyah dari bumi Rafflesia, meninggalkan rekam jejak yang luar biasa. Dari kearifan alam, budaya lokal, dan kekayaan intelektual yang terkemas dalam rekam jejak, hingga destinasi wisata Kota Semarak itu sendiri, berbuah kebanggaan yang patut dielu-elukan oleh siapa saja yang datang kesini. Dengan tanda kutip tidak mengupas segalanya.
Namun seiring tahun, rentetan sejarah positif tersebut menjadi pudar dan merubah stigma yang ada. Kriminalitas, perkosaan, dan korupsi terbesar sepanjang hari lahir Kota Semarak, menghempas keras nilai-nilai adat kebersatuan. Setengah abad berlalu, disesapi seketika oleh adegan kriminalitas nasional, perkosaan mendunia, dan korupsi beruntun dari seorang kepala negara.
Tumbuhlah nama yang pantas dari seorang Rinto dan Rinto-Rinto lainnya. Anjing-Bianglala.
Dengan sejuta warna yang ada, tergaris di mukanya dalam menyedot sejuta masyarakat. Kelas rendah, menengah, dan milenial, untuk terhanyut dengan kata rayunya.