JAKARTA – Akhir-akhir ini Rancangan Undang-Undang tentang Energi Baru dan Terbarukan (RUU EBT) sedang gencar dibicarakan karena sedang menjadi wacana kebangsaan. RUU EBT ini masih terus digodok oleh komisi VII DPR RI, RUU EBT merupakan inisiatif DPR dan telah masuk pada Program Legislasi Nasional.
Power Wheeling Pada RUU EBT Bertentangan Dengan UUD 1945
Salah satu isu yang menjadi kontroversial pada isi RUU EBT adalah skema power wheeling yang merupakan pemanfaatan bersama jaringan tenaga listrik milik Negara, oleh pembangkit swasta (Independent Power Producer/IPP) penghasil listrik energi baru terbarukan.
Artinya ada upaya melalui RUU ini menghadirkan pihak swasta untuk nebeng pada jaringan listrik yang dimiliki PLN. Lalu apa urgensi penggunaan jaringan PLN oleh pembangkit (power whelling) swasta untuk menghasilkan listrik yang akan dijual kepada konsumen masyarakat? Tanpa mengeluarkan dana investasi untuk pembangunan insfrastruktur jaringan, maka penggunaan jaringan PLN oleh power whelling sama saja akan berdampak pada harga listrik yang tidak terjangkau pada masyarakat sebagai konsumen.
Skema power wheeling sendiri merupakan instrumen dalam implementasi multi buyers-multi sellers atau banyak pembeli banyak penjual dalam sektor ketenagalistrikan. Dengan penerapan power whelling maka swasta dapat langsung menjual listrik kepada konsumen dengan menggunakan jaringan transmisi dan distribusi PLN. Power whelling membuka akses jaringan transmisi listrik yang notabene dimiliki Negara untuk diberikan kepada pihak swasta, asing dan aseng.
Mereka dapat langsung menjual listrik kepada konsumen dengan mengurangi jaringan transmisi dan distribusi PLN. Dalam sistem ini, tarif listrik ditentukan oleh mekanisme pasar, dengan kata lain listrik untuk kepentingan umum tidak lagi menjadi sesuatu yang penting dan tidak lagi menjadi sesuatu yang harus dijaga oleh Negara.
Artinya, skema power whelling ini adalah bentuk nyata liberalisasi sektor ketenagalistrikan, Negara tidak lagi memiliki kedaulatan energi. Dampaknya skema power whelling dipastikan akan membuat tarif listrik mahal dan sangat membebani APBN Negara dan rakyat yang dirugikan sekaligus sementara para oknum oligarki bermandikan rupiah.
Pasal 33 Ayat 2 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menyebutkan bahwa yang menegaskan bahwa cabang-cabang produksi yang penting bagi Negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh Negara. Artinya jika merujuk pada UUD 1945, skema power whelling yang ada pada RUU EBT berpotensi merugikan masyarakat banyak dan jelas bertentangan dengan Amanat UUD 1945.
Karena itu, kami dari Aliansi Mahasiswa Peduli Rakyat Indonesia melalui Aksi pada hari Selasa (31/01/2023) menuntut:
1. Meminta DPR dan Pemerintah Republik Indonesia untuk tetap pada pendirian yaitu menghapus Pasal 29A, Pasal 47A dan Pasal 60 Ayat 5 Rancangan Undang-Undang Energi Baru Terbarukan (EBT).
2. Meminta kepada DPR melalui Rancangan Undang-Undang Energi Baru Terbarukan (EBT) untuk tetap memperhatikan Kedaulatan Rakyat Indonesia.
3. Jika permintaan kami tidak diindahkan, maka kami akan terus melakukan penolakan terhadap RUU EBT.