Siapapun dapat mencalonkan diri jadi pemimpin di Provinsi Bengkulu yang notabene beradat dan berbudaya ini. Endaknyo orang Irian Jaya, Lampung. Sumbar, Ambon, Sumsel atau dari mano ajo, tobotu punyo hak nyalon.
Soal masyarakat mau memilih atau tidak, tentu itu soal rasa, akal dan kepentingan yang di miliki para pemilih, dengan atau tidak adanya catatan khusus. Memang yang ideal itu calon yang paham akan Bengkulu Raya
Nah, pertanyaannya adalah, bagaimana tanggungjawab moral Si Calon terhadap adat dan budaya yang ada di Negeri Bengkulu ini sesuai amanat UUD 1945? Bagaimana komitmennya terhadap kemaslahatan warganya?
Dua pertanyaanya diatas merupakan representasi dari beberapa warga masyarakat. Paling tidak selama 20 tahun terakhir berharap gubernur, walikota dan bupati hasil pemilihan 2024 nanti, bila tidak bisa membangun, agar tidak merusak saja jadilah. Minimal jadilah pemimpin yang kalu istilah main coklak, “biar kalau buah, asal menang tekex”.
Tentu anak negeri berharap pada yang ingin jadi Pemimpin Provinsi, Kota dan Kabupaten di Negeri Bengkulu ini, jangan ada ide ‘gila’ misalkan, akan merubah nama simpang jalan menjadi bundaran. tanpa berembuk dari legislatif atau tokoh masyarakat.
Ide ingin merubah dan menganti nama Pulau Tikus (Rat Island) yang menyinggung rasa anak negeri. Termasuk menganti nama wilayah Kualo Baru, Pasir Putih di Pantai Panjang Bengkulu menjadi nama lain. Itu semua segelitir contoh kecilnya saja. Masih banyak yang lain, termasuk peniadaan Balai Adat dan pemanfaatan sepihak Cagar budaya hingga meluluhlantakkannya.
“Seperti tadi Cik kecek, kalu idak pacak membangun, asal jangan merusak ajo jadilahtu. Tapi jangan pulo pilih calon kepalo daerah nang pemakai Narkoba serto pemoyok. Terus terang ajo selamoko Cik Tau, tapi Cik Selow. Selip-selip Cik Pecci jugo”.
Cik endak sampaikan, melah kito pikirkan Bengkulu Rayo ko dari Kabupaten Mukomuko enggut Kabupaten Kaur. Melah kito ‘dimano bumi dipijak, disitu langit di junjung’.
Tugas kito sebagai warga tetap atau tempatan cuman mikirkan kemaslahatan provinsi, kota kabupaten kito. Adat dan kebudayaan merupakan identitas dan harga diri Anak Negeri Bengkulu supayo idak terabaikan atau tergantikan. Soal eksennyo kito serahkan kek pemimpin tepilih kelak.
Kemungkinan itu rawan terjadi. Ini mengingat jadi gubernur, walikota dan bupati itu merupakan jabatan yang ‘terenak sedunia’. Paling tidak dengan jabatan itu “berre secupak, ikan sejerek, kopi segelas kek rokok sebatang idak putus”.
***
Cik Ben, Wartawan tinggal di Bengkulu Kota Marlborough