Oleh: M. Bisri Mustofa
Semenjak 3 bulan terakhir, Polda Bengkulu bersama jajaran kepolisian resor Bengkulu mulai gencar mengumandangkan deklarasi damai dalam pemilu serentak 2019. Adapun strategi yang diterapkan adalah, menggandeng semua unsur masyarakat dan intansi terkait, menolak gagasan anti Hoaks media sosial terkait isu-isu SARA yang tengah banyak terjadi di masyarakat.
Sikap dingin Kapolda Bengkulu, Brigjen Coki Manurung dalam merangkul tokoh masyarakat cukup sukses. Beberapa lapisan masyarakat mulai dari pelaku parpol, media siber dan cetak, sampai pada lintas agama dan organisasi lintas agama tergenggam dalam jemari sang pengendali hukum. 3 bulan berlalu, dan deklarasi damai mencapai sebuah keseriusan Kapolda dalam menekan terjadinya kriminalisasi gaya lama.
Hoaks. Tanggapan utama dalam menangkal hoaks adalah memegang peran media sosial dan mengendalikan akun-akun yang membuat rusuh kancah politik. Memang adanya situasi politik Indonesia saat ini berada dalam situasi yang rawan. Sikap demokrasi dimanfaatkan segelintir orang untuk menyebar isu hoaks dan menyebar kebencian.
Cyber Police atau polisi siber, bergerilya menurunkan beberapa situs maupun akun penyebar hoaks dengan teknis menurunkan akun terduga penyebar hoaks, bahkan sampai pada penutupan permanen jika terbukti melakukan pelanggaran.
Pada dasarnya, cyber crime bisa lebih mudah dikendalikan oleh kepolisian jika dibandingkan dengan pelaku parpol dan pengawas politik sendiri. Tidak semua masyarakat jeli dalam melihat situasi politik yang beredar, sehingga akhirnya termakan isu hoaks yang diedarkan secara langsung dan berujung perpecahan.
Antisipasi Polda Bengkulu dalam melihat terjadinya kemungkinan-kemungkinan yang bakal dihadapi, membuat pernyataan sikap; “Deklarasi Pemilu Aman, Damai, dan Sejuk” kepada semua unsur masyarakat.
- Menangkal Hoaks Ala Siber
Serikat Media Siber Indonesia (SMSI), sepakat membantu Kepolisian Daerah Bengkulu dalam menekan pemberitaan bersifat hoaks dan provokatif. Tercatat sudah 3 kali Polda Bengkulu bersama SMSI mengadakan pertemuan membahas output produk jurnalistik , yakni pada tanggal 11 Oktober, 30 Oktober, dan 6 November.
Menurut Kapolda Coki Manurung, ada peran besar pada media online yang tergabung dalam SMSI dalam menyebarkan pemberitaan. Terkait media online yang cukup banyak lahir di Bengkulu (Mencapai 80-an), dan cepatnya penyebaran informasi baik politik, kriminal, maupun isu yang terjadi di masyarakat, media online lah sarana tercepat dalam menggali berita. Untuk itu, Kapolda menghimbau kepada semua pemilik media untuk bersinergi menekan terjadinya berita hoaks dan provokatif.
“Media Online ini sangat cepat menyebar, terutama di Media Sosial. Kita harapkan kepada Media Online di Bengkulu untuk tidak membuat konten berita yang memicu kerusuhan. Misalnya dengan unsur mengadu domba ataupun yang lainnya”, ungkapnya (06/11/18).
Senada dengan hal tersebut, Ketua SMSI Rahimandani, menanggapi dengan tegas bahwa produk jurnalistik yang baik berada di bawah naungan hukum, jadi tidak perlu ditakutkan jika terjadi isu provokatif dan hoaks.
“Karya jurnalistik ditulis, diolah dan didapat dengan cara yang diatur oleh UU Pers dan Kode Etik Jurnalistik. Perusahaan, kantor, dan penanggung jawab jelas dan memenuhi standar regulasi yang diatur UU Pers dan peraturan-peraturan dewan pers.” Katanya pada pertemuan yang bertajuk “Membangun Kerjasama Memerangi Hoaks” (06/11/18).
Terakhir mengajak Pemda Provinsi Bengkulu melalui Dinas Kominfo dan Statistik bersama DPRD Kota dan Serikat Media Siber Indonesia (SMSI) Bengkulu, optimis bersinergi membulatkan tekad memerangi hoaks.
- Merangkul Mahasiswa Menolak Money Politic
Selalu ada pendekatan inklusif dari Kapolda yang digagas secara kekeluargaan. Acara silaturahmi dan diskusi bersama, membahas situasional provinsi Bengkulu menjelang Pemilihan Presiden 2019 menjadi pilihan dalam menciptakan situasi yang damai dan bersih dari kontaminasi nominal atau money policit.
Tidak bisa dipungkiri, mahasiswa adalah salah satu korban yang rentan akan politik uang dari berbagai parpol saat masa tenang pemilu, 3 hari sebelum pemungutan suara. Di mana mahasiswa sering dihadapkan oleh masalah transport saat hendak pulang ke kampung halaman jelang hari H.
Dinukil dari tirto.com, Pengamat Politik Adi Prayitno (red: Jakarta) mengatakan praktik politik uang (money politic) dan mahar politik kerap terjadi lantaran tidak ada definisi yang jelas dan kelonggaran peraturan.
“Dalam Undang-Undang Pemilu tidak ada definisi terkait mahar dan money politic. Kalau moneypolitic masuk dalam bagian bab larangan dalam berkampanye,” ujar dia di Jakarta, Sabtu (15/9/2018).
Banyak pihak menafsirkan politik uang berdasarkan Pasal 71 Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 4 Tahun 2017 dan Pasal 73 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang.
Pada Pasal 71 ayat (1) PKPU menyebutkan partai politik atau gabungan partai politik, pasangan calon dan/atau tim kampanye dilarang menjanjikan dan/atau memberikan uang atau materi lainnya untuk memengaruhi pemilih. “Di situlah ada penafsiran money politic,” kata Adi.
Namun, ayat (2) menyebutkan dalam masa kampanye partai politik dan gabungan partai politik, pasangan calon dan/atau tim kampanye dapat memberikan makan, minum, dan transportasi kepada peserta kampanye. Dilanjutkan dengan ayat (3) yakni biaya makan, minum, dan transportasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilarang diberikan dalam bentuk uang.
Menilik hal tersebut, siapapun bakal pesimis meski KPU dan Bawaslu memiliki kekuatan ihwal pemilu, tapi aturan-aturannya tidak detail menjelaskan soal politik uang. Selain itu, pembuktian untuk kegiatan politik uang sulit dibuktikan. Selama ini praktik antara mahar politik dan dana saksi yang diminta partai kepada kandidat memang sulit dibedakan.
Kapolda Bengkulu Brigjen pol. Drs. Coki Manurung, SH, M. Hum menyambut baik pertemuan tersebut. Meski tidak membahas secara detil politik uang yang kerap terjadi di hadapan para mahasiswa, namun secara konotasi hal ini dihadapkan menjadi pilihan yang bijak bagi para penerus bangsa.
Dikatakan Kapolda Bengkulu, memasuki masa Pemilu, banyak sekali kerawanan. Mulai dari politik, ekonomi, budaya bahkan agama. Terlebih lagi kerawanan atas isu politik yang kerap terjadi di sosial media.
“Perbedaan tersebut sangat mudah sekali untuk memecah belah persatuan bangsa. Maka dari itu, kita sebagai warga masyarakat, kita wajib ikut serta menjaga persatuan. Tentunya hal itupun dibutuhkan peran serta para tokoh agama dan Ormas-Ormas keagamaan yang ikut membantu mewujudkan Pemilu sejuk dan damai”, ujar Kapolda.
Jenderal bintang satu yang mengenakan setelan baju koko berwarna putih tersebut tidak datang sendiri, Iya didampingi oleh direktur Intelkam Polda Bengkulu. Selain itu tampak juga hadir kabinda Bengkulu dan ketua MUI Provinsi Bengkulu.
Menggandeng Yayasan Alfatihah Bengkulu dalam mengundang para mahasiswa juga turut hadir PWNU Provinsi Bengkulu, PWI Bengkulu, PKC PMII Bengkulu, Korwil gmki Bengkulu, KAMMI wilayah Bengkulu, IMM Provinsi Bengkulu, IPNU Provinsi Bengkulu, IPPNU, Provinsi Bengkulu, PC PMII kota Bengkulu, PC HMI Bengkulu, PC GMNI Bengkulu, PC PMKRI Bengkulu PC GMKI, Senat Mahasiswa IAIN Bengkulu, Dema IAIN Bengkulu, Permahi Bengkulu, dan PM4L IAIN Bengkulu.
Kapolda Bengkulu Brigjen Pol Coki Manurung kembali menunjukkan komitmennya untuk mewujudkan Pemilu 2019 aman, damai dan sejuk. Setelah sebelumnya bersinergi dengan sejumlah elemen masyarakat, pers dan unsur pemerintahan, kali ini Kapolda membangun sinergi dengan Tokoh Lintas Agama dan Ormas Keagamaan.
Rabu 21 November 2018, Kapolda menggelar Acara Silaturahim/Tatap Muka dengan Tokoh Agama dan Ormas Keagamaan serta Deklarasi Pemilu Aman, Damai dan Sejuk di Provinsi Bengkulu. Melalui kegiatan ini Kapolda Berharap Pemilu 2019 dapat berlangsung dengan damai, semua pihak dapat bersinergi, baik itu pemerintah, tokoh agama, tokoh masyarakat, juga insan media.
Antiklimaks dari rentetan pendekatan Polda kepada sejumlah elemen, mengisyaratkan sebuah ketakutan perpecahan dari kompetisi politik. Hal tersebut berpandangan dengan dogma radikal dan provokatif dari segelintir orang yang dirasa termasuk dalam parpol itu sendiri. Strategi kotor selalu diterapkan dan berharap dapat mempengaruhi masyarakat agar terkontaminasi oleh isu miring. Hasilnya, banyak masyarakat menjadi korban ketidaksehatan politik dalam pemenangan calon pemilu.
Survei Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) sendiri mengungkapkan, bahwa politik identitas atau isu Suku, Agama, Ras, dan Antargolongan (SARA) jadi faktor tertinggi yang diprediksi akan menghambat gelaran Pemilu 2019. Rendahnya toleransi dan banyaknya penggorengan isu-isu hoaks dipandang terkait dengan isu ini (CNN_Indonesia.com).
Survei itu dilakukan terhadap 145 ahli dari bidang politik, ekonomi, sosial, budaya, serta pertahanan dan keamanan, pada April-Juli lalu 2018.
Dilakukan di 11 provinsi, yakni Sumatera Barat, Lampung, Jakarta, Jawa Timur, Kalimantan Timur, Bali, Sulawesi Tengah, NTB, NTT, Maluku, dan Papua. Survei dilakukan dengan menggunakan teknik non–probability sampling atau sampel ahli dipilih berdasarkan kriteria tertentu.
Diungkapkan oleh Kordinator survei ahli LIPI Esty Ekawati, politisasi SARA dinilai menjadi yang tertinggi sebagai faktor penghambat Pemilu 2019.
“Para ahli mengatakan potensi yang bisa menghambat penyelenggaraan pemilu yang terttinggi adalah politisasi SARA dan identitas mencapai 23,6 persen,” ujarnya, di Hotel JS Luwansa, Jakarta Selatan, Selasa (07/08/18).
Di urutan berikut ada konflik horizontal antar pendukung paslon 12,3 persen, Gangguan keamanan 10,4 persen, kurang siap penyelenggara pemilu 6,6 persen, dan ketidaknetralan penyelenggara pemilu 5,7 persen.
Selanjutnya LIPI juga meneliti perspektif para ahli mengenai kondisi sosial budaya, salah satunya mengenai toleransi. Para ahli memandang bahwa dalam lima tahun belakangan ini toleransi masyarakat masih buruk 62,8 persen.
Lagi-lagi alasan mengapa toleransi buruk adalah karena politisasi SARA, stigmatisasi saling tidak percaya, diskriminasi, kekerasan terhadap minoritas, persekusi, konflik sosial atau horizontal, pragmatisme politik dan lain sebagainya, papar Esty. Untuk mengantisipasi masalah tersebut, para ahli menyajikan pula beberapa solusi. Solusi penegakan hukum baik konsistensi, independensi, dan netralitas dipandang 17,3 persen ahli mampu meredam masalah. Sebanyak 16,3 persen ahli yakin bahwa harus ada edukasi politik sementara 13,3 persen lainnya mengharuskan partai bereformasi untuk menjalani perannya dengan baik.
Kendati demikian, Peneliti LIPI Syarif Hidayat menyebut bahwa politisasi SARA sebenarnya hanya terjadi di taraf elite politik. Alhasil, pihak yang perlu mendapatkan pendidikan politik utamanya adalah elite politik.
“Berdasarkan IDI [Indeks Demokrasi Indonesia] 2015, isu SARA tidak menjadi penting di grassroot, tetapi hal itu dimanipulasi oleh elite politik seperti di DKI kemarin. Karenanya itu solusinya saya pikir adalah untuk mengelola atau mengendalikan elit politik,” tutur dia.
Contoh utama dari isu SARA adalah, dimanfaatkannya dalam Pilkada DKI 2017 untuk menghalangi petahana, Basuki T Purnama alias Ahok, kembali berkuasa di ibu kota. Hasilnya sukses. Isu penistaan agama membawa Anies Baswedan-Sandiaga Uno lebih dipilih ketimbang Ahok.
***