Jakarta – Kalangan atau kelompok Islam moderat dinilai harus segera merumuskan strategi guna mengantisipasi gerakan-gerakan intoleran dan faham radikal, terutama di jagat dunia maya.
Pakar Sosiologi Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Asep Saepudin Jahar mengungkapkan, bahwa aksi seorang wanita bercadar membawa senjata api dan mencoba menerobos Istana Negara adalah salah satu contoh kesalahpahaman tentang ajaran agama.
“Kasus wanita bercadar yang mencoba merobos ke Istana Negara sambil membawa senjata api dengan misi sebagai jihad adalah suatu fenomena pemahaman keagamaan yang persoalannya tidak sederhana. Ini semacam gunung es persoalan eksistensi otoritas agama di ruang publik yang patut dicermati kembali,” ungkapnya dalam keterangan tertulis, Jakarta, Kamis (27/10/2022).
Asep menilai, bahwa wanita tersebut pasti salah mengambil jalan atau ajaran mengenai agama, terutama dari media sosial.
“Ruang publik media digital mengubah gaya hidup masyarakat dalam banyak aspek, termasuk bidang agama. Meski memiliki nilai positif, penggunaan media sosial untuk menyampaikan apa saja, cenderung kurang disadari bahayanya baik bagi individu maupun masyarakat luas,” ujarnya.
Dalam konteks keberagamaan, Asep mengatakan, kehadiran dan penggunaan teknologi informasi yang masif ini mendorong terjadinya kontestasi terbuka berbagai faham dan ajaran.
“Sekitar tahun 1980-an, untuk mendapatkan pengetahuan agama dan mengkonfirmasi interpretasi ajaran, masyarakat merujuk kepada ulama dan ormas tertentu yang teruji kompetensinya. Otoritas agama yang disematkan pada ulama sebagai rujukan ini teruji bukan oleh hal-hal di luar kapasitas dirinya. Tapi belakangan, rujukan itu bergeser. Media, khususnya media sosial, menjadi tempat efektif untuk belajar agama,” katanya.
Direktur Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta itu menyampaikan, media sosial saat ini sudah menjadi pasar bagi kelompok eksklusif dan intoleran untuk berjualan gagasan maupun figur seseorang.
“Sejauh logika pasar, kontestasi gagasan pun berjalan terbuka, fair, bebas dan sepenuhnya ditentukan oleh dominasi pendukung dan pengikut. Muncul figur publik, khususnya di media, yang dinilai memiliki daya tarik tersendiri dan mendapatkan tempat di kalangan masyarakat. Tokoh-tokoh populer inilah yang oleh Muhammad Qosim Zaman disebut sebagai ‘cendekiawan agama baru’. Mereka lahir secara instan melalui ruang publik digital,” ungkap Asep.
Asep menilai, bagi mereka yang baru belajar agama, kehadiran tokoh-tokoh populer tersebut cenderung sangat memikat, setidaknya karena dua hal. Pertama, faham yang diajarkan dinilai atau dianggap baru dan seolah memenuhi dahaga spiritual di tengah kompleksitas masalah hidup yang memang cenderung mencerabut manusia dari jati diri.
“Kedua, penggunaan media sosial yang efektif membuat tokoh-tokoh atau ‘cendekiawan agama baru’ ini mudah diakses publik. Hubungan tokoh dan audiens menjadi terasa intens. Jarak dipangkas habis. Biaya pun dianggap murah,” ujarnya
Asep mengatakan, otoritas agama yang lahir dari riuhnya media sosial itu mungkin tampak tidak secara vulgar melakukan perlawanan terhadap faham keagamaan yang ramah sebagaimana menjadi karakter utama kalangan atau kelompok Islam moderat.
“Namun seringkali juga tampak jelas basis ideologi dan pemikirannya mengandung spirit salafi. Ekspresi anti tradisi dari para tokoh agama populer ini berkali-kali menyeruak dan menjadi kontroversi,” katanya.
Asep mengungkapkan, berbagai penelitian menunjukkan betapa masifnya penggunaan media sosial sebagai alat penyebaran isu-isu keagamaan yang mendorong lahirnya sentimen anti keberagaman dan toleransi.
“Bahkan menjadi alat rekrutmen dalam gerakan radikalisme-terorisme. Dunia maya menjadi ruang inkubasi ajaran-ajaran intoleran yang kemudian tumbuh subur melalui suara otoritas agama minus kapasitas, tapi memiliki banyak penggemar dan pengikut,” ungkapnya.
Asep mengakui, memang tak sedikit juga tokoh atau kalangan Islam moderat dan inklusif juga memaksimalkan penggunaan media sosial, tapi sayangnya perimbangannya belum cukup.
“Kelompok keagamaan yang mapan belum cukup agresif melakukan perimbangan, bahkan jika perlu menguasai medan pertarungan ideologi melalui improvisasi dan inovasi teknologi dunia digital. Ketika metode dan pendekatan kegiatan keagamaan kalangan intoleran, bahkan radikalis begitu kuat memanfaatkan teknologi informasi mutakhir, kelompok Islam moderat secara umum masih menggunakan pendekatan-pendekatan konvensional. Tak diragukan banyaknya tokoh yang mengutuk dan meluruskan faham-faham Islam destruktif di ‘daratan’, sementara perang sesungguhnya terjadi di dunia maya,” ujarnya.
Dalam menyikapi hal itu, Asep menyebutkan, setidaknta ada dua hal yang perlu dilakukan. Pertama, kalangan Islam moderat perlu bersinergi untuk merumuskan pendekatan dan strategi dakwah di ruang publik secara masif dan relevan.
“Penting bagi kalangan Islam moderat bekerjasama dan berdampingan untuk menghadapi ‘musuh bersama’ dalam bentuk faham keagamaan yang dangkal, bahkan membahayakan kehidupan berbangsa dan bernegara,” katanya.
Kedua, lanjut Asep, kalangan Islam moderat perlu membuat jaringan dan ruang-ruang publik di dunia digital yang adaptif dengan generasi milenial. Ada ruang untuk cara-cara konvensional, tapi penguatan peran di media digital merupakan keniscayaan.
“Reposisi dakwah harus dilakukan dalam keseluruhan aspek, baik itu alat, skill, juga tentu budaya kerja-kerja dakwah. Masukan ini mungkin sederhana dan bisa dianggap klise. Tapi jika diturunkan dalam rincian strategi dan direalisasikan secara serius, upaya-upaya untuk menjaga Indonesia sebagai rumah bagi Islam toleran dan moderat akan sangat terbantu,” ungkapnya.