Berita Ekonomi, Bisnis, Hiburan dan Wisata Indonesia Terbaru dan Terpopuler.

Opini: Sama-Sama Menyikapi Terduga Teroris

Oleh M. Bisri Mustofa

Dalam beberapa bulan ini kita sudah sering mendengar penangkapan-penangkapan terduga teroris dari berbagai penjuru Nusantara. Tak elak pada lingkup lokal, yakni di Bengkulu sendiri. Pada kasus penangkapan terduga teroris di Bengkulu, menyisakan sedikit tanda tanya. Benarkan bahwa pelaku yang masih dalam status dugaan terorisme, adalah susulan dari kasus-kasus sebelumnya sehingga menumbuhkan akar baru dan terus berkembang. 
Hal tersebut dilatarbelakangi adanya jaringan terorisme yang benar-benar pecah dibeberapa wilayah dalam bulan mei lalu. Terjadi mulai dari provinsi Jawa Barat, Jawa Timur, dan Riau, 5 kasus ini merupakan kasus teror yang cukup besar. Di samping lima kasus ini, polisi juga sempat menangani kasus-kasus teror lainnya.
Belum genap sebulan berjalan, 5 kasus teror bom terjadi di Indonesia. Teror yang dilakukan berupa teror bom dan juga teror berbentuk penyerangan. Korbannya tidak lain adalah warga sipil yang notabene kelompok minoritas. 
Hal tersebut digadang-gadang menjadi salah satu momok menempatkan agama atas dasar terorisme. Salah sebenarnya jika kita beranggapan demikian. Pasalnya, terorisme sendiri tidak hanya mengenal lawan. Tidak ada batasan mengenai anggapan bahwa pelaku terorisme adalah salah satu kelompok agamis. Dalam hal ini, selain korbannya adalah kelompok minoritas, pelaku sebagai jaringan yang dianggap mayoritas justru terpojok dengan anggapan demikian. 
Pelaku agama secara membabi buta dianggap sebagai pelaku kejahatan terbesar dalam lingkup kriminalitas, yakni terorisme. Tidak dapat dipungkiri, umat yang menganggap kedaulatan Indonesia itu harus berdiri secara khilafah, akan mendapat cap sebagai salah satu pendukung jaringan terorisme di Indonesia. Tidak usah kita sebut siapa kelompoknya, hanya saja umat islam justru mendapat dampak yang dikambing hitamkan agama lain dalam hal ini. 
Dalam penangkapan-penangkapan yang dilakukan Densus 88 sebagai tim khusus pemberantas jaringan terorisme, salah satu kriteria utamanya adalah lelaki berjenggot dengan sorban yang menjuntai dan perempuan-perempuan bercadar. Memang benar adanya dalam bukti penangkapan itu diantaranya adalah kriteria tersebut, hanya saja ada beberapa blunder yang juga dilakukan oleh tim terlatih Detasemen Khusus 88 dalam penyergapan yang dilakukan. 
Diantaranya adalah kasus penangkapan 4 orang terduga teroris di Solo pada Selasa 29 Desember 2015. Namun ternyata 2 di antaranya menjadi korban salah tangkap. Dua orang yang merupakan korban salah tangkap Densus 88 bernama Ayom Panggalih dan Nur Syawaludin. Saat proses penangkapan, kedua orang itu mendapatkan perlakukan yang kurang manusiawi oleh pihak Densus. Bahkan, mereka sempat ditodong pistol oleh pasukan antiteror tersebut. (Liputan6.com)
Kasus selanjutnya adalah Kematian Suyono (39 tahun) yang menjadi terduga teroris setelah ditangkap oleh Densus 88 kembali menambah daftar panjang tidak transparan dan akuntabelnya operasi pemberantasan terorisme. Kemudian, untuk kasus salah tangkap, setidaknya lebih dari 40 orang dan 99 persen dari mereka yang salah tangkap ini mengalami penyiksaan. 
Senin, 14 Mei 2018 beberapa bulan lalu menjadi hari yang tak terlupakan untuk keluarga Arifin. Pasalnya ia bersama sama sang istri tiba-tiba ditangkap oleh pihak anti terorisme densus 88. Ketika bapak paruh baya asal Malang langsung di ringkus di kediamannya. Dilansir laman MetroTV, tercyduknya mereka lantaran, kedua pasutri diduga ikut jaringan teroris. Tidak itu saja, rumah mereka juga sempat digeledah untuk mencari barang bukti. Namun, setelah ikut prosedur yang pasangan pejual telur asin dam kerupuk ini ternyata tidak sedikitpun ditemukan keterkaitan dengan teroris. Salah tangkap ini jelas adalah gambaran dampak besar bom kemarin. (Bombastis.com)
Seperti kasus bapak Arifin tadi, seorang wanita bercadar di terminal Tulungagung juga alami dampak besar akan ledakan bom akhir-akhir ini. Dilansir laman, Republik dirinya harus rela diturunkan oleh petugas Dishub dari bus yang ditumpanginya. Usat punya usut, alasan penurun tersebut disebabkan oleh gerak-gerik wanita bercadar itu yang mencurigakan. Bahkan menurut, Kabag Humas Polres Tulungagung gadis 14 tahun juga membuat was-was penumpang bus. Kondisi seperti ini menjadi kewajaran yang amatlah memilukan, lantaran mereka yang mencoba untuk menjalankan syariat Islam harus dipandang sebelah mata. Besar harapan apabila ke depan stigma negatif itu bisa hilang. 
Terakhir, baru-baru ini beredar pula video yang beredar di medsos dengan latarbelakang kecurigaan anggota kepolisian terhadap seorang santri yang hendak berangkat dari asal kediamannya berangkat menuju pondokan dengan membawa sebuah kardus berisi pakaian. Kasus nahas ini terjadi di Simpang Lima Semarang. Saat itu ia hendak kembali ke tempat belajar agama, dirinya harus diberhentikan lantaran dicurigai membawa sebuah bom. Pemuda memakai sarung peci itu, sampai harus mengeluarkan semua isi barang di kardus yang dibawanya. Dilansir laman Kumparan, tindakan Polda Jateng tersebut merupakan bentuk peningkatan kewaspadaan terhadap aksi teror. Namun setelah mengeluarkan isi di dalam kardusnya tidak ada satupun barang yang bisa meledak atau mirip dengan bom. Malahan yang ada keperluan-keperluan penunjang kehidupannya di pesantren.
Dari sejumlah kasus di atas, dapat disimpulkan bahwasannya jaringan terorisme yang tengah hangat terjadi di Indonesia saat ini, pelakunya tak lain adalah orang yang bersembunyi di belakang nama agama. Jika kita menilik sejumlah ajaran pada masing-masing agama, tidak ada satupun agama yang menghalalkan terorisme atau membunuh orang lain dengan dalil jihad. Bahkan dalam agama islam sendiri, ada kriteria-kriteria tertentu dihalalkannya sebuah gerakan jihad. Membela tanah air misalnya. 
Untuk itu, bagi kita semua sebagai pemeluk agama yang berlandaskan Pancasila, tak perlu ragu dalam mengawasi gerak-gerik jaringan ormas masyarakat yang menjadi akar gerakan terorisme. Masyarakat sekitarpun harus tanggap tanpa memperdulikan kerabat dan pelaku agama. Dan untuk penegak hukum yang ada di negeri ini, harusnya lebih selektif lagi dalam penanganan tindak kriminal terutama pada ruang lingkup pengawasan kedaulatan dan keamanan negara. Pada penilik hukum dalam menetralisir keadaan didiskriminasikan sekelompok tertentu sebagai penanggungjawab tindak laku terorisme, perlu diatur ulang dan direcoveri atau perbaikkan sistem praduga sehingga tindak penangkapan yang masih dalam status tersangka tidak mengalami blunder dan kesalahan fatal yang berakibat tindakan asusila baru/pelanggaran HAM terhadap warga sipil tak bersalah.

banner 325x300

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *