Nyamuk-nyamuk di sini luar biasa gilanya. Sedari tadi tidak ada henti-hentinya mereka menggangguku.
Praaaakk! satu tamparan tepat bersarang di pipiku.
Bukkkkk!! liukannya yang lihai membuatku makin gusar untuk melanjutkan ketikkan. Tetapi tugas yang sudah lama aku tumpuk ini seolah-olah hendak menghakimi setiap saat. Sudah hampir satu minggu dan belum juga tuntas kukerjakan.
Bayangannya lama-lama makin pudar dihempas para nyamuk gila yang seakan minta diperhatikan. Tidak banyak jumlahnya, hanya kisaran 4-5 ekor saja bila ku perhitungkan. Namun kelihaiannya mengelak ketika hendak kutampar justru mengorbankan wajah luguku. Tak jarang mukaku merah karna nafsu menampar sang nyamuk gila ini.
Waktu sudah memasuki dini hari, rasa kantuk dan lelah belum juga datang menghampiri. Segera ku selesaikan data yang belum ter-input ke dalam lembar-lembar pdf. Saat aku benar-benar hendak mengayunkan jari-jemariku yang sudah sedari tadi menggenggam, datanglah induk dari nyamuk bernyanyi fals di daun telingaku.
Duuuuuuuuuu…..nguuuuuuuuuu. Nguiiiiiiiiing…nguiiiiingggg. Terdengar mengejek memang. Aku tak segera menanggapinya. Seolah-olah dia tau benar bahwa aku tengah kasmaran kepada tugas ini, hingga dia menginginkan aku membagi rasa dengannya. Rasa marah. Rasa yang tak satupun kuungkapkan pada seseorang kecuali,.
Ah!! Bayanganku jadi membelot. Aku jadi terbayang-bayang, di mana sore tadi justru jadi rasa kasmaran yang sesungguhnya.
Bagiku, mahasiswa semester 4 yang masih semangat-semangatnya belajar, pengalaman ini menjadi sebuah pengalaman yang aneh maupun sesuatu yang tak mungkin kulupakan, saat kami mendapat tugas untuk terjun kelapangan, belajar memahami alam dan menganalisis sesuatu yang justru bukan bidang kami tentunya. Mana mungkin program studi FKIP Bahasa Indonesia diharuskan mempelajari ilmu tentang hewan dan pengaruh semesta bagi seisinya. Ya, keisengan dosen mata kuliah analisis wacana yang mengajak mahasiswanya untuk mengulas tingkah laku hewan ragunan dan kemudian dijadikan bahan tulisan berupa karangan bebas. “Lantas, kenapa harus hewan?” Tanyaku dalam hati.
Kebun binatang Taman Remaja target kami belajar bebas mengenal alam, seakan-akan membuat kami berimajinasi menjadi dokter hewan, dan jadi ahli zoologi.
Kami 40 mahasiswa dibagi menjadi 20 kelompok belajar, yang mana masing-masing kelompok berpasang-pasangan diwajibkan menganalisis tingkah laku hewan dalam kebun binatang ini yang sebenarnya jika dilihat-lihat lebih layak disebut sebagai kandang piaraan. Selain tata ruang yang tak teratur dan terjaga, hewan-hewannya pun tidak begitu terawat.
Setiap kelompok dianjurkan untuk memilih satu dari 15 macam hewan berbeda. Aku dan Rina, yang masuk ke dalam kelompok 18 jelas-jelas bingung.
“Jika benar data dari spesies mamalia ada 7 pasang, spesies reptil 3 pasang, dan spesies burung ada 5 pasang saja, lalu kemana lagi 5 kelompok tersisa mengkaji anatomi dan tingkah laku hewan yang ada di kebun binatang ini?” kata Rina menjelaskan dengan nada yang sepoi-sepoi. Aku pun melanjutkan pertanyaan tadi kepada Bu Rahma, salah satu dosen killer di prodi kami.
“Tidak ada yang boleh protes ataupun bertanya selain dari yang sudah saya sebutkan tadi. Kerja kalian terhitung 1 jam dari sekarang.” perintahnya.
“Gimana, Rin? Ada ide tidak kamu?” Aku dengan dia sama-sama bingung seperti keempat kelompok lainnya.
“Kamu mau ide dari aku, Tom?” Aku menyerngitkan dahi meragukan pertanyaannya.
“Aha, aku ada ide. Sudah ayok ikut aku sekarang ke tepi pagar itu, Rin”
“Mau ngapain, Tom?”
“Sudah ikut saja. Di sini tidak akan dapat ide dengan berdiam diri.” Ajakku yang sedari tadi memperhatikan satu persatu kelompok sudah lebih dulu pergi menjalankan tugas.
Rina pun aku ajak berkeliling mencari-cari ide, bahwa hewan apa yang akan kami analisis selain dari ke 3 jenis hewan spesies yang ada, sedangkan untuk keluar dari kebun binatang tak diperbolehkan dan tak ada hewan lain yang berlalu lalang di sini terlebih ruang lingkup di sini sangat terbatas. Setelah hampir 15 menit berlalu lalang memutari kebun, ku putuskan untuk berhenti beristirahat sejenak; duduk tepat di bawah pohon akasia.
“Tom, jangan bergerak,” kata Rina sambil memandang mukaku. Dia terlihat memandang dengan sangat dalam.
“Ah, baru kali ini aku dipandang seorang wanita dengan ekspresi seperti itu.” kataku dalam hati seraya terpesona juga memandangnya, kecantikkannya yang natural justru mengalihkan dunia saat ini. Tetapi, mengapa tiba-tiba dahiku merasa gatal.
“Rin,..”
Clepakkkkk! Tiba-tiba telapak tangan Rina beradu jotos dengan dahiku.
“Rin!? Kenapa malah kamu tampar? Orang lagi enak-enak juga mandangin kamu. Eh, malah kamu tampar.” Kataku kesal sambil merona malu.
“Udah, diam dulu kamu. Gak usah banyak gerak,” katanya sewot seraya kupandang lagi muka lugu yang selama ini tak kutemukan padanya. Ah, jelas-jelas pertemuan ini sedang dimulai. Wajar saja jika selama ini aku belum sama sekali mengenalnya. Ternyata, jika dipandang lebih dalam siapapun wanitanya, jika alisnya natural, bedaknya tipis, dan rambutnya panjang, bakal auto amnesia dengan segala masalah.
Sekali lagi kurasakan tiba-tiba pipi kananku gatal tak tau asal. Aku pun spontan menggerakkan tangan kananku untuk menggaruknya. Namun sebelum itu terjadi, Rina dengan cepat mengisyaratkan untuk diam sambil memanyunkan bibirnya. Kulihat dia sedari tadi menuliskan sesuatu seraya memandangku. Entah apa yang yang ia tulis aku sama sekali tak mengelak untuk tetap diam. Namun tiba-tiba makin lama rasa gatal itu makin menjadi-jadi dan akhirnya tak tertahankan lagi tangan ini bersimpati.
Clepaakkkk! “Sudah ku bilang, Tom. Diam aja dulu ngapa, sih.” kali ini dia benar-benar nafsu menamparku.
Aku pun bertanya dengan muka kesal, apa alasan ia menyuruhku untuk diam, sedang ia memandangiku begitu.
Aku sedikit tersinggung kali ini. Bukannya mencari ide berfikir untuk segera membuat tugas, malah dengan seenaknya dia membuatku salah tingkah. Menamparku dua kali, lagi.
“Kenapa, Rin? Gak tau orang lagi gatal, apa?!” Aku menatapnya tak peduli denganku.
Tangannya masih saja menuliskan apa yang ada di dalam benaknya. Kali ini aku benar-benar keppo, jangan-jangan dia menganalisis mukaku, atau membuat persepsi fiksi dengan objek polos seperti ini. Apa mungkin dia sedang jatuh hati padaku, atau sebaliknya, ia berusaha membuatku jatuh hati padanya. “Ah! Tesis yang berlebihan” fikirku dalam hati.
“Udah, ah. Yuk kita kumpulin nih tugas. Udah selesai kok.”
“Lha, lho. Rin.” Responku kelabakkan.
“Iya. Sudah dua kali aku menampar kening dan pipimu. Rasanya, nano-nano, ya? Hahaha” ia ketawa seraya menarik tanganku untuk pergi menemui Bu Rahma.
Ah, baru kali ini aku digandeng oleh seorang wanita yang telah menatap dan menamparku tanpa alasan. Walau sedikit kesal, tapi aku kasmaran padanya.
Setelah sesampainya di rumah, segera ku telpon Rina dan menanyakan sebab akibat dari kejadian di kebun binatang tadi. Sebenarnya sedikit canggung dan kepedean, siapa tahu benar jika ia jatuh hati padaku.
“Halo, Rin. Boleh aku tanya satu hal padamu?
“Kenapa, Tom? Penasaran? Uluh-uluhhh. Maafin, ya. Tadi aku observasinya di kening kamu. Biarin, dari pada kita ngga kumpul tugas, kan.
“Lah, Rin. Emangnya muka aku mirip hewan yang ada di ke…”
“Nggak kok, enggak. Aku tadi bukan mandangin kamu. Tapi nyamuk tuh yang buat aku konsen sama kening kamu.
“Nyamuk?” Nyess. Spontan hatiku berasa dingin tak karuan. Segera ku alihkan pembicaraan demi tidak mempermalukan diri dan membuatnya berbalik penasaran padaku. Namun sebelum sempat aku ngomong tiba-tiba,..
“Iya, judul tugas kita adalah Anatomi Nyamuk dan sinerginya dengan cinta.”
“Cinta?” Nyesss. Lagi dan lagi, aku merasakan diorama hati tak seperti biasanya. Namun belum sempat aku mempertegas maksud perkataannya, lagi-lagi ia memotong pembicaraan.
“Tom, tar sore jalan, yuk.”
. . .
Tiba-tiba alasan untuk mencaci dan menamparnya, mengurungkan niatku benci mendengar nyanyian nyamuk-nyamuk gila itu.
“Ah, kubiarkan saja malam ini. Hitung-hitung aku berterimakasih dengannya” fikirku terlelap pada bayangan Rina, yang jatuh cinta padaku hanya gara-gara dua ekor nyamuk. Dan kini kubiarkan 5 ekor nyamuk untuk bertengger menyanyikan lagu cinta.
^_^