Berita Ekonomi, Bisnis, Hiburan dan Wisata Indonesia Terbaru dan Terpopuler.
Cerpen  

Merindukan Muazin

Oleh: M. Bisri Mustofa

Semenjak kepergian kami dari desa Selolong, masjid itu tak lagi terurus kebersihannya. Masjid An-Nur, masjid yang sudah berdiri  sejak tahun 1960 itu kian hari kian kehilangan fungsi pondasinya satu-persatu. Pasalnya, selain kehadiran kami saat sedang menjalani kuliah kerja nyata sebulan yang lalu, masjid itu tak ayal hanya sebagai simbol dan kiblat keagamaan saja, tanpa pernah sedikitpun tersentuh tangan-tangan agamis. Bahkan tlah lama ditinggalkan oleh jemaahnya.
Selain masyarakat yang kurang faham pendidikan agamanya, selama kami terjun ke dalam masyarakat itu sendiri, kami merasakan memang banyak perbedaan yang terjadi dalam bidang keagamaan. Banyak masyarakat terpecah dengan kehadiran dua mahzab berbeda dari kalangan Muhammadiyah dan Nahdatul Ulamah yang berimbas pada kerukunan masyarakatnya. Padahal hal ini justru akan menambah kekayaan wawasan berfikir yang agamis, religius, pun sosialis ketika kita menyatukan perbedaan tersebut menjadi sebuah kebanggaan beragama. Bukankah Muhammadiyah tidak menyelewengkan cara beribadahnya yang begitu simple? Pun NU juga yang demikian kaku? Meski memang diketahui sejak lama, bahwa mahzab NU lah yang lebih dahulu datang menyebarkan agama islam di desa itu, dengan seiring berlalunya waktu, terjadilah modernisasi yang dibawa oleh ustad Maulana Ibrahim, tetua yang berhijrah setelah lulus kuliah di Universitas Qairo dan memilih untuk berbaur kepada masyarakat pedalaman ketimbang berdakwah di pusat perkotaan.
Di umurnya yang sudah memasuki 65 tahun, beliau memang masih segar bugar ketika kami bertandang ke kediamannya, pertama kali survei lapangan di desa tersebut, tak terlewatpun rumah pak Iskandar, kepala desa Selolong yang sudah dua periode menjabat.
                                   . . . 
Malam itu, tanggal 28 ramadhan, aku beranjak menjalankan ibadah shalat tarawih di Masjid Agung, Ratu Samban. Ada perasaan sedih bercampur kecewa ketika aku mengulang-ulang lagi masa kelamku, masa di mana kala itu aku belum sedikitpun tersentuh tetesan Nur’ agama islam. Meski aku sendiri sudah sejak lahir menyandang agama yang dibawa oleh nabi Muhammad, namun orang tuaku sekalipun tidak mengajarkanku tentang seluk belum islam, sampai akhirnya aku teringat di mana Ustad Maulana kala itu menyerngitkan dahinya ketika bertanya pada kami, “adakah yang bersedia Azan?” dan tak satupun dari kami mengangguk. Hingga akhirnya beliaulah yang memborong semuanya, muazin, iqamah, sekaligus imam.
Aku memang tak merasakan malu saat pertama kali ditanyai hal tersebut. Begitupun teman-teman satu kelompok denganku, 3 laki-laki lainnya yang hanya menunduk ketika terus dipaksa untuk mengumandangkan azan. Namun seiring hari, pertanyaan tersebut justru memaksaku untuk terus terang pada Tuhan, ‘apakah ada yang lebih indah dari sekedar berkilah, atau memulai memperbaiki diri’. 
Ya, diam-diam aku mulai menghapalkan lafas azan dari awal hingga akhir. Kupelajari intonasi nadanya hingga ku ulang-ulang mengahapalkannya dengan keindahan azan yang maksimal. Sampai pada suatu ketika, aku berangkat paling awal saat waktu shalat memasuki pukul 15.30. Di mana memang masjid An-Nur sendiri kehilangan jemaahnya dan tanpa penghuni kecuali Ustad Maulana dengan kami anak-anak KKN. Dan untuk shalatpun kami selalu datang lebih lambat dengan alasan tiada yang mau azan, kecuali Ustad Maulana sendiri.
Allahuakbar~Allahuakbar…Allahuakbar…Allahuakbar...! Tak sadar bibir-bibir ini bergetaran,
Asyhaduala Ilahailallah…! Mataku memerah dan hampir tumpah ruah air membasi pipi,
Asyhaduana Muhammadarosulullah…! Hingga akhirnya aku terisak menyerukan kalimah takbir terakhir kala itu. 
Tak kusadari memang. Namun setelah shalat, aku bergegas lari pulang dan mengurungkan diri di kamar sekre, terdengar sayup-sayup perbincangan teman-teman sekre memuji keberanianku. Tak urung pun tetangga di samping sekre kami yang sangat jelas membicarakan lantuna suara azan yang entah siapa penyerunya. 
“Ah! Apakah suaraku mengumandangkan azan saat itu sangat jelek? Atau ada satu kalimat yang salah kuucapkan,”
“Allahuakbar~Allahuakbar…Allahuakbar…Allahuakbar! Seketika ingatanku saat indah itu, terbuyar oleh lantunan muazin yang begitu menyayat hati. Akupun beranjak menuju tempat wudhu.
                                   . . . 
Pada sujud terakhir shalat tarawih, hpku yang berada di dalam saku seketika bergetar. Ah, untung aku senyapkan.
Tak beberapa lama kemudian, ia kembali bergetar dengan ritme yang sangat panjang. Sampai pada salam terakhir, akupun segera mengangkatnya dengan lebih dulu keluar dari masjid agar tak ada satupun jamaah yang terganggu. 
Kulihat ada 4 panggilan tak terjawab. Dan, ya. Dari Ustad Maulana. 
“Ada apa gerangan Ustad Maulana menelponku malam-malam begini,? Tanyaku dalam hati. Rasa penasaranpun mulai menghampiri. Tak seperti biasa beliau menelponku. Apalagi setelah satu bulan kepergian kami dari desanya, beliau sama sekali tak memberi kami kabar tentang bagaimana kelanjutannya setelah azan yang kukumandangkan. Namun tiba-tiba malam ini beliau menelponku.
Apa aku harus telpon balik?, hemm. Aku sedikit ragu-ragu.
Aku putuskan untuk kembali ke dalam masjid demi mengerjakan shalat sunah. Namun saat aku baru saja memasuki tangga kedua, hp ini kembali bergetar. Segera kuangkat dengan ucapan bismillah karna sedikit rasa was-was bercampur aduk penasaran.
“Assalamualaikum, nak Fahmi?” terkaget ketika suara yang kudengar tak lain suara Bu Rahma, istri Ustad Maulana. 
“Waalaikumsalam, bu. Apa kabar bu, maaf kalau tadi Fahmi lama mengangkat telfonnya.” 
“Iya tidak apa-apa. Kabar duka sedang menyelimuti kami, nak. Seminggu setelah kepergian kalian dari desa kami, bapak telah lebih dulu pulang menghadap Allah,” terdengar suara Bu Rahma mendayu-dayu disertai seduan yang membuatku makin tambah kaget. 
“Innalillahi wainalillahi roji’un,”
“Bapak nitip pesan sama kamu, nak fahmi. Beliau menuliskan sesuatu dalam surat yang belum sempat ibu antarkan. Mungkin sebuah wasiat. Barangkali kamu tidak keberatan untuk mengambilnya besok ke rumah kami, itung-itung sekaligus bersilaturahmi. Bagaimana?” tanyanya dengan nada sedikit memaksa.
Aku tak segera menjawab, karena masih sedikit sisa penasaran yang merasuki otakku. Ada apa gerangan beliau menitip pesan padaku? Namun kalimat terakhir yang menyudahi pembicaraaan kami, segera mengambil alih keputusanku.
“Baik, bu. Segera. Besok pagi insya Allah saya segera ke sana. 
                                  . . .
Pukul 08.00, aku segera bergegas menuju desa yang meninggalkan sebuah kerinduan. Desa penuh dengan sikap ramah-tamah dalam bersosial, namun jutru sebaliknya saat bersinggungan dengan keagamaan. Ah! Segera kutampik firasatku yang terakhir. Karena ketakutanku akan hal tersebut, justru menjadi senjata buruk padaku. Pada hati yang beranjak pergi dari kefasikkan. Sifat Su’udzon. Salahsatu sifat yang Allah benci.
Perjalan dari Bengkulu ke desa Selolong sekitar 2 jam lebih. Dan aku mengambil inisiatif untuk sampai ke rumah Almarhum Ustad Maulana sebelum waktu dzuhur. Karena kuatir kalau aku akan dipaksa untuk kembali azan di sana oleh Bu Rahma.
Entah mengapa masih ada rasa trauma mengahantuiku saat kembali mengingat detik-detik lantunan azan keluar dari mulut lugu ini. Atau sebaliknya. Yang lebih kutakuti adalah ketika masyarakat tersebut justru nyinyir dan mencemooh karena keisengan seorang baligh yang tak tau agama, malah berkoar-koar mengajak mereka untuk sembah sujud pada Tuhannya.
Lha~lho?! Kenapa malah aku makin parah ber-su’udzon. Astagfirullahaladzim.
                                    . . .
Benar dugaanku. Untuk sampai tepat waktu sebelum tiba waktu zuhur, justru menyisakan peluang yang sangat tipis. Aku sampai di sini pukul 11.20.
Ah, pasti karena aku kelamaan ngelamun di jalan tadi. Aduh. Bagaimana ini. Tidak mungkin jika aku hanya sebentar saja di rumah Bu Rahma. 
Tak kusadar aku sudah berada tepat di depan halaman rumah beliau. 
“Masuk, nak!?” seru Bu Rahma dari dalam rumah. Kulihat halaman rumahnya begitu gersang. Tidak seperti waktu pertama kali kami bertandang ke rumah sederhana ini. Di sudut pagarpun masih terpasang bendera kuning dengan bunga seroja yang sudah layu di bawahnya.
“Bagaimana kuliahmu? Oh, ya. Nilai KKN nya juga bagaimana? Sudah dibagikan hasilnya, bukan?” Beliau mencecar pertanyaan basa-basi yang jutru membuatku plin-plan. 
“Sudah, bu. Alhamdulillah hasilnya cukup memuaskan. Maaf, bu. Fahmi belum mengerti mengapa ibu menelpon untuk menyuruh Fahmi kemari. Dan bapak,..”
“Iya, nak. Almarhum bapakmu, sudah lama beliau sakit. Batuk dan keluar darah pada dahaknya. Sudah 6 bulan yang lalu. Dan kata dokter, beliau keracunan makanan. Sudah kesana-kemari kami berobat tanpa hasil yang positif. Entah, firasat ibu, bapak diracuni orang. Tapi, wallahu’alam. Ibu tidak mau su’udzon sama siapapun. Memang waktu itu ibu sudah peringati sama bapakmu untuk tidak selalu mengucap-ucap; bahwa siapapun yang merasa muslim, untuk segera melaksanakan shalat berjamaah di masjid. Tidak sekali bapakmu menyampaikan hal tersebut sebelum pada azan yang dikumandangkannya. Hingga akhirnya beberapa masyarakat sekitar tersinggung dengan ucapan bapakmu. Memang tidak bisa dipungkiri, mungkin beliau juga sudah kesal karena tak ada satupun masyarakat yang mau menunaikan salat bersama di masjid.” ceritanya panjang lebar. 
Akupun mangut-mangut mengerti, tapi tiba-tiba perasaan takutku kembali mengingat, kala pertama sekalipun terakhir kalinya aku menjadi muazin di desa ini. “Ah, sangat bisa dibayangkan apabila aku demikian. Lebih-lebih kehadiranku yang sok-sokan mengambil alih posisi terpuji tersebut,” kataku dalam hati.
“Namun, nak. Ternyata hal tersebut justru menjadi ladang surga bagi bapakmu. Lebih-lebih kamu-” lho kok, ??
“Pasalnya, setelah sikap beranimu itu mengumandangkan azan, sontak masyarakat tersadar dengan sikap kerasnya mengutamakan Allah ketimbang dunia melulu. Kamu telah menyadarkan masyarakat desa Selolong untuk berhijrah ke jalan Allah. Azanmu begitu mempesona. Kamu layak di berikan predikat sebagai penerus Billal. Kami semua saat itu, begitu ngeri dan merinding mendengarkan lantunan yang begitu syahdu. Subhanallah. Selama kami di sini, selama bapakmu yang memaksa agar azan tetap terdengar di pelosok desa terpencil ini, kamu hadir dengan membawa keberkahan sendiri bagi pendengarnya. Maha suci Allah yang telah menyadarkan semuanya melalui keberanianmu itu. Ini, titipan surat dari bapak sebelum beliau koma selama 3 hari, dan akhirnya bapakmu bisa tidur dengan damai.” sembari menyodorkan secarik kertas tanpa sampul dan tinta yang diindahkan, beliau memaksaku untuk jatuh berderai dengan rahmat dan suka-cita. Akupun menangis tersedu-sedu sambil membaca surat dari Ustad Maulana yang telah lebih dulu menganggapku sebagai anaknya, sembari memandang masjid di sebrang jendela rumahnya.
Untuk Nak Fahmi:
Jika ada lagu yang lebih Indah di dunia ini, tunjukkan pada makam-ku. Aku ingin mendengarnya.

Jika ada kalimat semerdu azan-mu, rangkulah ia dengan hati penuh kasih. 

Jika ada keberkahan yang melebihi nafasmu, sandarkanlah hati pada tetesan kalbu rabb-mu. 

Namun jika tiada kesemuanya, kembalilah pada masa lalu-mu, nak. 
  Terimakasih telah membangkitkan hati umat, 
    Terimakasih telah memberi semangat, 
  Terimakasih telah membuat masyarakat rindu akan suara Muazin. 

   Sesekali, lihatlah kemari, An-Nur nan asing telah menjelma menjadi tulang rusukmu. 
Tertanda: Ust. Maulana Ibrahim
                                        . . .
Hampir kuperhatikan, tak satupun wajah asing yang berbondong-bondong ke masjid. Aku mengenalnya semua. Ya, para petani, intansi desa, para remaja, anak-anak, dan lansia pun semangat pergi memenuhi shaf kosong di masjid. 
Dengan tawadhu, akupun maju mengambil mikrofon untuk kembali mengumandangkan azan yang dulu pernah membuatku jatuh hati pada Islam.
       . . . selesai . . .
Bengkulu, 02 Syawal 1439 H

banner 325x300

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *