“Mata ini sudah 25 tahun tidak kuganti. Rasanya sudah seperti bola lampu yang hampir lepuh sekarat. Melihat apa-apa pun kusam”
Oleh Muhammad Bisri Mustofa
Ya, hampir tak ada wajah indah yang kutemui beberapa tahun terakhir. Barangkali aku memang harus menggantinya. Kendati harga mata di dunia ini bukanlah semurah kita mengganti softlens juga kacamata.
Tak apa. Seberapapun itu akan kubayar selagi kedepannya aku bisa menemukan sesuatu yang baru. Wajah lama dengan tingkah lucu. Teman lama yang membosankan kemudian hadir kian ramah. Atau kepada orang-orang yang menyakiti kehidupannya lantas berlabuh menjadi lebih bijaksana.
Lalu, aku harus memilih mata yang bagaimana?
Apakah mata orang-orang yang sudah mati supaya lebih jelas pandangan kedepannya. Mata-mata bayi yang justru suci. Ataukah mata perempuan yang memiliki seribu arti memahami.
Ah. Tunggu dulu. Bukankan kau tak pernah mengerti alasan apa yang aku rasakan ketika memejamkan mataku. Aku ingin lupa segala sesuatu tentang kekasih. Sudah lekas membekas pertanyaan menunggumu tentang hari itu. Kau janjikan kembali tepat awal April kemarin, dan sampai saat ini aku justru mendengar kabarmu di sana mendapat gembira baru. Dengan lembaran kisah lama yang kau buang tak berarti, memilah kekasih tanpa tau sebabku dilupa.
Mata-mata bayi? Mereka akan lebih cocok untuk menggantikan mata dari seorang agamis. Tetua bijaksana lebih layak mendapatkannya karena tak sepeserpun hidup di dunia ini yang dipihak-i-nya. Para ulama sepuh di kotaku lebih layak menerima bola mata darinya. Banyak yang berharap mereka tidak lagi rabun. Ada banyak anak-anak muda yang harus menerima ilmunya. Kita tahu, dunia butuh sesuatu yang lebih teduh lagi. Tanpa perusakan juga glamornya fatamorgana.
Mata-mata mayat? Ya, rasaku demikian layak aku mengganti mataku dengan mata orang mati. Mereka tak ayal lebih dulu mengetahui apa yang telah terjadi dan bakal potensi yang harus aku cegah. Sedikit banyak mata-mata itu adalah memoarnya jalan hidup. Tak ada penderitaan panjang yang perlu lagi perhatian. Juga bahagia yang berlebih saat aku harus melangkah. Mata-mata mayat, atau mata-mataku yang berkarat ini?
*
Sudah hampir sepekan aku memilih mata yang bagus. Selain itu aku juga sedang mencari mata yang masih tulus.
Mata anak kecil memang sedikit cocok dengan harapanku. Tetapi bukan bayi. Bayi terlalu suci untuk menggantikan mata seorang pendosa. Meski tak ayal dosaku atas limpahan orang di sekelilingku. Tapi aku tak ingin menyalahkannya. Aku semakin berdosa jikalau hal itu sebagai pelarian di pengadilan Tuhan, nanti.
Baiklah. Kucoba cari mereka di sepanjang Jalan Natadirja. Di sana banyak sekali anak-anak jalanan yang sangat tulus. Selain mata-mata itu masih sangat murah, mereka juga sepertinya tak terlalu butuh melihat dunia kelamnya. Biarkan saja mereka sunyi tanpa mata jika di usia yang dini harus di hadapkan dengan keluh kesah ayah ibunya. Toh, orang tua mereka tidak berharap jika anak-anak itu lahir bersama nasibnya.
Aku menelusuri gang-gang kota. Mencari-cari mana mata anak yang paling tulus. Nantinya, mata itu bisa kubeli dengan harga yang paling murah. Sekitar 7 juta atau malah bisa jadi hanya 700 ribu.
Tapi sedari tadi aku mencari mereka tidak pada tempatnya. Tumben. Apakah mereka sedang sibuk di tempat bermain. Ah, tidak mungkin. Sejak kapan mereka ada waktu untuk memikirkan permainan.
Aku melanjutkan pencarianku. Mataku semakin sakit. Aku melihat ada sesuatu yang mengganjal. Tapi apa? Aku menanyakan sesuatu pada hal yang tak kuketahui.
Tunggu. Ini jam berapa?
Ah… Aku baru ingat. Rasaku mereka sedang mencari sampah-sampah rumah tangga yang masih bisa dijual lagi. Iya. Di kualo, tempat pembuangan sampah itu biasanya banyak dikunjungi orang-orang pinggiran sebagai tempat ternyaman untuk membuang barang yang sudah tak berguna. Lokasi strategis, pinggir kali Rawa Makmur tepat di bawah jembatan.
Aku menyegerakan diri melalui jalanan kota yang penuh dengan debu-debu juga polusi. Wajar jika mataku semakin sakit.
Hampir sampai. Aku sudah menyiapkan uangnya. Mereka tak akan menolak karena aku tahu mereka butuh sesuatu untuk bisa dijadikan sesuap nasi. Dengan uang mereka bisa membelinya.
Tak perlu banyak, aku tau mereka hanya memikirkan harinya dalam waktu yang singkat. Hari ini untuk hari ini, dan esok untuk kisah yang belum pasti kebenarannya. Jadi aku tak perlu repot bernegosiasi dengan anak-anak itu untuk membeli matanya.
14 juta untuk 4 bola mata. Atau bisa aku bawa semua mata-mata itu untuk kemudian hari kujadikan persediaan jika aku ingin melihat dunia dengan kisah lain. Toh aku tak pernah tau kapan mata-mata ini ingin diganti. Bisa jadi setiap hari mereka ingin melihat sesuatu yang layak dilihat.
*
Tak satupun orang kutemui di sepanjang lorong jembatan. Sampah-sampah itu juga masih utuh. Belum ada tanda-tanda orang yang mengaisnya.
Kemana mereka? Aku menjejaki satu persatu tumpukan sampah. Dari sisi ke sisi, juga arah yang berbeda–Tak ada.
Aku kelelahan. Segera kurebahkan tubuhku dengan mata yang sangat gatal, menyender di bak pembuangan sampah. Beberapa saat, hidungku mencium bau anyir dengan nuansa yang berbeda.
“Ini bukan bau sampah. Tapi apa, ya?” Aku mencari-cari sumber bau itu. Kulongokkan kepalaku ke dalam bak.
Kutemukan sesosok mayat anak kecil dengan umur berkisar 8 tahun dengan tubuh seperti memeluk perutnya sendiri.
“Ah. Sakit. Kenapa kau begitu cepat mati, Sayang.” Ucapan batin meluncur begitu sadis, mengharuskanku memungut 2 bola mata yang belum begitu lama terpejam.
–
Padang Jati, 29 April 2019