Berita Ekonomi, Bisnis, Hiburan dan Wisata Indonesia Terbaru dan Terpopuler.

Mengganti Mata II

AVvXsEgJ023lRl2YxuNsKX828qYl6L39lP6h3ey10yEgGYMLeQC08Yi3CbDraAPpYYDgoe7mvh4TGcZjculjDx2wl1TT2 iAx3d4kazIm sgOQgc0btxbjPl4MxCqIYaDPSNjGsxI8JWH9TgiNpsYM88EHsXBIqdl5CzOJvwceDSKdTEXFctQc0TwXicXTILoMa0s16000
AVvXsEgJ023lRl2YxuNsKX828qYl6L39lP6h3ey10yEgGYMLeQC08Yi3CbDraAPpYYDgoe7mvh4TGcZjculjDx2wl1TT2 iAx3d4kazIm sgOQgc0btxbjPl4MxCqIYaDPSNjGsxI8JWH9TgiNpsYM88EHsXBIqdl5CzOJvwceDSKdTEXFctQc0TwXicXTILoMa0s16000
Hatiku kalut. Betapa tidak, setelah setahun kita bersama dalam duka lara, akhirnya kau buat semuanya jadi kenyataan. 
Bak disambar petir, aku melihat akun Instagram mu terpampang foto lelaki lain yang kau sebut Abang. 
Abang katamu, tapi mana mungkin Abang semesra itu. Kau bilang foto-foto itu untuk membuat seseorang cemburu. Siapa? Bukannya kau bilang hanya aku kekasih di hatimu setelah dua lainnya kau putuskan. 
Kembali aku perhatikan satu persatu. Setelah aku merasa curiga, puncaknya Sabtu malam ku kunjungi tempat yang kau bilang tempat dia bekerja. 
Tidak ada yang namanya Fathur dalam daftar karyawan rumah makan Kopi Jakarta. Kian penasaran, kubuka beranda Tiktok dan ku dapati kau telah serumah, sejalan dan healing bersama. Kuingat perjalanan menuju bukit daun itu telah lama. Tiga bulan lalu. 
***
Halo. Jadi benar, kan, laki-laki yang kau sebut Abang adalah kekasihmu yang baru. Kenapa? Kenapa kau hancurkan kepercayaan dan usahaku untuk bisa menghalalkan mu. Padahal hanya sedikit lagi untuk bisa meluruhkan hati dan restu istriku. 
*Diam. Tidak ada sepatah katapun keluar dari handphone mu. 
Jadi selama ini perjalanan kita hanya sia-sia. Setelah setahun berlayar hanya ada satu patahan yang membuat perahu kita tenggelam dalam angan-angan. 
Kau pun menutup handphone mu. Pesan singkat lantas bergulir.
Maaf, mas. Iya aku akui salah. Aku sudah tidak tahan lagi ribut dengan istrimu. Sekali lagi aku minta maaf atas kegagalan ini. Aku sudah nyaman dengan dia mas. Sekarang kita buat lembaran baru, ya. Urus istrimu. 
Aku membalas dengan pasrah, “baiklah Nindi. Jika memang begitu, aku hanya mau kalau kau tidak lagi mengulangi perbuatan ini. Kau tau kegagalanmu dengan tiga kekasihmu sebelumnya adalah atas ketidakpuasan mu menjalani kisah asmara. Jika memang kau sakit hati dengan ayahmu, buang jauh-jauh masa lalu itu. Semua tidak akan kembali, dan kini justru kau yang jadi korban dan rusak diri. 
“kau tak ingin melihat foto anakku” pesan itu mengakhiri percakapan halu kita.
**
Nindi, gadis Seginim yang kuliah di Universitas Brawijaya itu adalah gadis manis dengan potongan rambut tomboi, tapi gimiknya tak jauh menampakan kelembutan seorang perempuan. 
Usia lima tahun di bawahku, seolah bukan jadi masalah buatnya untuk berteman. Latar belakang kesepian, introvert nya membuat kami kenal di aplikasi kencan. Aku tak ada niat sidikitpun untuk memacarinya. Apalagi menyentuh. 
***
Perjalan singkat membuat kami makin kenal. Kebosanannya akan aktivitas kuliah membuat kami sering berpergian keluar kota. Aku harus pandai-pandai mencari alasan agar bisa pergi dari rumah dan meninggalkan istriku. 
Ya, sering kubilang aku kerja dan mencari modal usaha untuk bisa mandiri finansial. Maklum, dalam sebulan aku hanya bisa pas-pasan menghidupi keluarga dan mencukupi kebutuhan. 
Tak terasa hubungan aku dengan Nindi telah berjalan tiga bulan. Bukan saja nyaman, tapi aku mulai gerah ketika usapan manjanya menyentuhku. 
Suatu ketika saat perjalanan menuju Bintuhan, hujan besar tiba. Perjalanan kami yang hanya menggunakan sepeda motor mengharuskan untuk singgah dan menginap di salah satu rumah warga Tanjung Karang, Pak Hasyim. 
“Saya Singgih Swasono, pak, dari Kota Bengkulu. Dan ini adik saya Nindi,” 
Tanpa rasa curiga, pak Singgih mengizinkan kami menginap satu malam dirumahnya. 
Tujuan kami ke Bintuhan memang untuk pergi ke salah satu petilasan tua yang pernah disinggahi oleh tokoh agama penyebar Islam di Tanah Bengkulu. Penduduk setempat memanggil nya Syekh Aminullah. Sesuai sebutannya, petilasan di tepi jurang menjorok ke laut itu menjadi tempat yang sangat makbul untuk berdoa. Dan tak salah, pak Hasyim menjadi salah satu juru kuncinya.
“Kebetulan, mas. Saya juru kunci petilasan itu. Kalo memang mau kesana, saya bisa mengantarkan,” ungkap pak Hasyim menutup perbincangan kami. Malam sebelum tidur, aku izin untuk menempatkan Nindi di kamar kosong milik pak Hasyim. Ia pun menyetujui. Tanpa tau dan curiga bahwa kami sebenarnya adalah teman biasa. 
Malam semakin larut dan membuatku kedinginan tidur di luar. Angin malam menyeruak ke sela telinga dan membisikkan ku untuk berpindah ke kamar Nindi. 
Nindi, yang terbilang suka tantangan, membuat kami dekat tanpa rasa takut akan keganasan istriku. 
“Ah, Nurul pasti tidak akan tahu. Kalau pun tahu hubungan ini, aku sudah lebih dulu izin dan dia mengiyakan meski nadanya meremehkan ku,” 
Aku pun bergeser. Melihat baju tidur yang dikenakan Nindi membuatku kalang kabut. Apalagi belahan dadanya tersingkap menampakkan buah dada yang mungil. Pikiran berkecamuk. Membuatku semakin nekat untuk melampiaskan nafsu birahiku. 
“Sttt.” Kututup mulut Nindi setelah ia terbangun lantaran rabaan ku. 
“Nindi. Aku kedinginan diluar.” Sembari kucium lehernya. Ia mendesah sembari menggeliat menolakku.
“Mas, jangan. Ingat kau punya istri mas. Ini juga dirumah orang,” lirihnya. 
Tanganku yang kadung masuk ke belahan dadanya sejurus meremas lembut dan membuatnya semakin menggeliat. 
“Mas, aku belum pernah,” isyaratnya yang seolah belum pernah sekalipun berhubungan intim. 
Hasrat telah di ujung kepala. Membuatku semakin garang dan memasukkan kemaluanku ke dalam bibirnya. Semaki lama ia pasrah dan malam pun terdiam. 
***
“Kalau tau kau begini, tak akan sedikitpun kulakukan” geramku menggerutu di hadapan kaca. 
Apa aku gila, tega meninggalkan istriku yang tengah hamil hanya untuk meniduri anak bau kencur itu. Oh tuhan, atas kesalahan ini, maafkan lah aku. 
***
“Oekk…oeekk..” suara tangisan bayi mungilku memecah heningnya subuh di rumah sakit Ummi. 
“Tuhan terimakasih atas kelancaran persalinan ini,” aku menatap istriku yang tengah memejamkan matanya lantaran harus dibius saat menjalani persalinan sesar. 
Atas kelahiran anak pertamaku, aku menjadi ikhlas, dan menatap mata datangnya harapan baru. 
“Tuhan. Terimakasih kau telah gantikan kehilanganku atas kekasih rekayasa, menjadi sebuah berkah penerus keluarga,” doaku mengaliri air mata. 
***
Mata bulat dengan pipi lucunya membuatku makin hari makin sayang. Ikatan emosional membuatku menjadi semakin dewasa. 
“Ah, aku telah menjadi seorang ayah. Kenapa tidak dari dulu jika tau nikmatnya memandang mata suci itu,” ungkapku dalam hati. 
Bayi laki-laki itu telah kuberi nama Yusi Hafiz. Terbersit doa agar besarnya kelak Ia menjadi seorang yang pandai mengaji dan dan mendoakan orang tuanya. 
Aku sadar, setelah kehilangan berat Nindi, aku hampir tak bisa lagi hidup. Meski kusebut ia simpanan, tapi cintaku pada Nindi melebihi cintaku pada Nurul, istriku. Saat ini, mata bulat itu membuat dunia ku beralih dan sekejap memberikan harapan baru. 
Dulu, sedetik pun tak mau aku menjadi seorang ayah. Atas beberapa kejadian, dua perempuan yang kupacari harus menderita ku buat sengsara agar tak pernah memiliki anak dari hasil kefanaan. 
***
banner 325x300

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *