Berita Ekonomi, Bisnis, Hiburan dan Wisata Indonesia Terbaru dan Terpopuler.

Menadah Cinta Neptini

Desain20tanpa20judul
Desain20tanpa20judul

Pagi itu 23 Juni 1987, matahari sudah mulai memancarkan sinar lembutnya di Kota Bengkulu. Dang remaja baru tamat sekolah menengah pertama masih lelap tertidur di kamar, di balik selimut kusamnya.

Rupanya, begadang malam itu membuat remaja berambut kribo ini letih, sehingga beberapa kali Sang Emak berteriak membangunkannya, namun tak digubris. Ia baru meloncat dari tempat tidurnya, setelah Mak mengancam akan menguyurkan seember air, bila tidak segera bangun, untuk pergi hari pertamanya ke Sekolah Menengah Atas, swata.

Sekolah yang merupakan alternatif terakhir, mengingat nilai SMPnya hanya bisa dapat sekolah swasta, yang populer di Kota Selengek kala itu. Sekolah di mana siswanya boleh berambut panjang, boleh mengenakan kalung, asalkan tetap berseragam rapi.

Dengan sebatang rok*k, pagi itu Dang bergegas menuju sekolah dengan berjalan kaki, di daerah Km 6,5, yang jaraknya sekitar dua kilometer dari rumahnya. Sedikit berlari-lari kecil, tanpa mandi, hanya sempat mencuci muka saja, Dang tibanya di gerbang sekolah. Rasa cemas saat dirinya melihat tak satu pun siswa baru ada di halaman sekolah.

Ternyata para murid baru sudah dikumpulkan pihak sekolah dalam satu ruangan besar, untuk masa pengenalan siswa. Dengan kepandaiannya, Dang berhasil menyelinap di ratusan siswa yang ada, tanpa diketahu para guru yang ada.

Bertepatan Ultah

Beberapa menit usai para murid mendengar guru beceramah, rasa kantuk pun kembali datang.

“Para murid baru harap tenang sebenar, saya akan memanggil seseorang di antara kalian. Coba yang bernama Dang harap maju ke depan,” kata seorang guru senior, dengan lantang.

Jantung berdegub dan pucat pasi tampak di raut wajah Dang. Sempat terlintas di benaknya, apa kesalahan yang baru saja dirinya perbuat.

Berbagai pertanyaan dan godaan yang membuat jantungnya berdetak kencang. Terbang di benaknya saat kedua orangtuanya berang, karena dirinya ditolak dan dikeluarkan dari sekolah yang baru hari itu dipijaknya.

Dugaan Dang keliru. Ternyata dirinya hari itu merupakan hari kelahirannya. Hal itu sesuai dari data yang diperoleh para guru.

Sebagai imbalannya, Dang yang mengaku bisa bergitar, dinobatkan untuk bernyanyi menghibur teman baru satu sekolah yang belum dikenalnya. Sebuah lagu yang liriknya, “Usah lagi… Perpisahan jadi beban di hati…” lantun Dang.

Tertatap

Usai menyanyi dan mendapat sorak sorai, Dang berusaha cepat kembali ke tempat duduknya semula. Saat tujuh langkah terburu-buru, dari di sebeah kanan, di bangku ketiga, langkahnya seakan memaksa berhenti.

Seorang siswi tampak sempat memberikan tepuk tangannya, seakan berdecap kagum. Sembari sumringah gadis bermuka oval, lonjong telur itu menoleh dan beradu pandang dengan Dang, walaupun hanya perdetik terus berlalu.

Rasa berasapun timbul, bergetar menguncang jantung dan hati. Saat pembagian kelas usai dibacakan, para murid baru masuk menuju ke kelas yang ditunjuk. Ternyata gadis kurus tinggi langsing, berambut ikal panjang itu, satu kelas dengannya. Mungkin itulah yang dikatakan orangtua dahulu, “Pucuk Dicinta, Ulampun Tiba”.

“Kalau Tak Berada-ada, Takkan Burung Tempua Bersarang Rendah,” kata pepatah lama. Gadis pujaan itu ternyata bernama Neptini Lidiawaty, nama yang indah untuk gadis berdarahkan Ibu Sunda Jawa Barat dan Bapaknya Bengkulu Selatan.

Penyemangat

Sepulang sekolah, wajah Neptini selalu hadir. Khayal pun tak kuasa terus menerawang dan tersentak saat bara api rokok menyengat jemari tengah Dang.

Keesokan harinya, tekad tak ada kata terlambat lagi untuk pergi sekolah dilakoni Dang. Baru satu kali teriakan Maknya, segera bangun dan bergegas mandi pagi, meskipun kebiasaan begadang bersama teman sekitar rumahnya terus berlangsung hingga tadi malam.

Di sekolah pun Neptini terus menjadi objek godaan. Beragam macam cara, Dang berusaha menarik perhatian pujaannya, meskipun ia tahu kalau “Tepuknya Belum Berbalas” namun ia tak putus asa, meskipun saingannya datang dari para kakak kelas.

Hingga suatu hari, bermodalkan uang bayaran buku pelajaran, Dang berusaha mengajak Neptini untuk makan bakso saat pulang sekolah.

Iswandi, Budi dan Indra yang merupakan teman akrab dan berdekatan bangku dengan Dang, seakan tak percaya dengan aksi yang diangapnya Dang terlalu berlebihan.

Mengingat secara materi, Neptini merupakan anak orang kaya, sementara Dang hanyalah anak seorang mantan aktivis idealis, yang membenci para opotunis.

Ternyata tebakan ketiga temannya itu salah. Sembari makan bakso, Dang mengutarakan rasa yang ada di lubuk hatinya.

“Tin,” katanya dengan suara sedikit serak dan terbata-bata.

“Ya,” jawab Neptini sejenak menghentikan daging bakso yang hampir dikunyahnya.

“Mau nggak… mau nggak kamu jadi pacar aku?” tanya Dang dengan muka pucat pasi.

Sedikit kaget dan terdiam sejenak. “Oo… itu, saya mau, asalkan kamu mau berhenti merok*k dan jangan merok*k lagi ya,” kata Neptini. bukan main girangnya tampak di raut muka Dang, dan menerima sarat yang diajukan pujaan dan dambaannya itu.

Usai, makan bakso, Dang menawarkan diri untuk menghantarkan diri pulang ke rumahnya sembari jalan kaki. Semenara ketiga teman Dang serta mengiring di belakang dua remaja kasmaran itu meuju rumah Neptini.

“Sudah cukup disini saja Dang, nggak usah masuk, soalnya Mama marah nanti, kalau liat kita berdua,” pinta Neptini sembari melemparkan senyumnya.

Dang tampak menganggukan kepala, dan melihat dari kejauhan hingga pujaannya itu hilang di balik pintu rumah yang memang tertutup rapat.

Berbalik ke belakang, menuju ketiga temannya yang ingin tahu cerita mulai dari ajakan makan bakso, hingga sepanjang perjalanan tadi.

Mendengar kilas cerita itu, ketiga temannya itu mendukung dan siap bila diperlukan bantuannya, sembari menggeleng-gelengkan kepalanya.

Terlupakan

Bergegas pagi itu Dang pergi sekolah, dengan semangat tak hari kemarin. Harapannya, nanti bertemu dengan pujaan hatinya. Meskipun pagi itu tidak secerah kemarin, sisa hujan tadi malam masih membasahi Bumi Kota Bengkulu.

Setibanya di sekolah, pandangan Dang mulai liar mencari sosok Gadis Kutilang, yang katanya mahir berjaipong itu. Tenyata gadis itu tak tampak di pandangan Dang.

Saat lonceng sekolah berbunyi, ternyata Neptni ada di dalam kelas, asyik membaca, entah buku apa yang dibacanya. Dang mencoba melintas di depannya, sembari berdehem mengoda, “Eehm”. Namun deheman itu tak direspon. Dang terus berlalu duduk di kursi kelas paling belakang. Selama di sekolah, tak ada tanda-tanda, kalau mereka sudah jadian.

“Ah… mungkin dia malu kalau teman lain tahu,” pikir Dang.

Rupanya hal itu berlangsung, hingga jam sekolah berakhir. Neptini tak merasa kalau dirinya pernah menerima cinta Dang. Bak petir mengelegar menghantam gunung, Dang tampak runsing, pilu, sedih berbaur emosi. Kekecewaan teramat dalam menghantam kalbu.

Kekecewaan berbaur harap itu berlangsung selama tiga tahun duduk di bangku Sekolah Menegah Atas. Cinta Dang Tak Berbalas. Harapan hampa terus digapai tanpa berbuah hasil. Itu terjadi saat kelulusan sekolah pun terjadi.


Berpisah Tahun 1990

Usai lepas sekolah, Dang dan Neptini tidak pernah bertemu lagi. Dang Hijrah ke Ibukota Jakarta, sementara Neptini melanjutkan ke perguruan tinggi di Yogyakarta.

Banyangan wajah Neptini terus hadir dalam ingatan Dang, meskipun kini Dang tak pernah tahu kabar berita pujaan hatinya lagi. namun memalui temannnya, Iswandi, akhirnya keberadaan Neptini diketahui sudah pindah rumah.

Informasi itulah yang menimbulkan semangat Dang untuk kembali mendekati Neptini, dan ingin segera kembali ke Kota Bengkulu.

Usai menyelesaikan kuliah strata satunya di Tahun 1997, Dang mencoba pulang ke Kota Bengkulu, dan berharap dapat bertemu dan mendapat cinta Neptini lagi di Kota itu. namun harapan itu tetap saja pupus, Neptini masih belum dapat membuka hatinya, untuk menerima Dang sebagai pujaannya hatinya.

Kekecewaan dalam harapan hampa pun kembali berulang. Dang kembali lagi ke Jakata, dengan menitikan air mata harapan cinta.

Dari Jakarta, Dang mencoba terus berkomunikasi Neptini via telepon. Hingga suatu saat, temannya Iswandi menyuruhnya pulang ke Bengkulu, agar kembali mengutarakan cintanya kembali kepada Neptini.

Kala itu akhir Oktober 2002. segala aktivitas di Jakarta ditinggalkan, Dang meluncur ke Bengkulu dengan ribuan harapan mendapat sebongkah cinta yang terpendam. Ternyata kepulangan Dang kali ini membuahkan hasil. cintanya diterima.

Tak ingin meninggalkan momen yang dinantinya belasan tahun itu, Neptini pun segera dilamarnya, tiga bulan usai cintanya diterima. Tepat 13 Juni 2003, mereka pun melangsungkan perkawinannya, hingga membuahkan amanah, dua putra dan dua putri.

***

Benny Hakim Benardie, penulis dan jurnalis tinggal di Kota Bengkulu

banner 325x300

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *