Berita Ekonomi, Bisnis, Hiburan dan Wisata Indonesia Terbaru dan Terpopuler.

(M)Asa Bersama

1618742211914548 0
1618742211914548 0
Oleh: Ayu Lestari, Cerpenis
***
“Cinta adalah…”
Sampai batas kata ‘adalah’ aku selalu berhenti menulis atau berbicara ketika seorang teman bertanya. Karena pada nyatanya di usia yang hampir memasuki seperempat abad, aku masih kesulitan mendefinisikan kata itu. Seolah memang ada sesuatu yang tidak sesederhana untuk diucapkan. Entahlah.
Kurasa cinta memiliki banyak sudut pandang, tergantung dari mana kamu melihatnya atau merasakannya. Aku tentu tidak boleh menyamakan pemikiranku denganmu atau sebaliknya. Namun, aku percaya bahwa rasa itu sejatinya akan membuat orang-orang bahagia. Jika tidak, mungkin ia salah mengira bahwa itu cinta.
Hari ini sepulang dari kantor, aku mendatangi toko kue tempat Sira bekerja. Ia satu-satunya teman dekat yang kumiliki mengingat aku yang memang tidak terbiasa atau tepatnya tidak mudah akrab dengan orang lain. Terhitung hampir sepuluh tahun kami berteman. Sejak kepindahannya ke sekolahku, di kelasku, dan duduk di sampingku, dunia yang biasa-biasa saja mendadak berubah. Aku semakin sering tertawa bila di dekatnya, dan ya ia memang selalu bisa membuat orang tertawa.
Sampai hari ini pun salah satu alasan aku tertawa adalah dirinya. Lucu sekali, padahal aku memiliki seorang kekasih yang menyatakan suka padaku sebulan lalu, tetapi tetap saja Sira yang lebih sering membuatku merasa nyaman. Ah, bukan aku tidak menyukai laki-laki bernama Gria itu, hanya saja ia tipe laki-laki serius dimana aku harus pandai-pandai menempati diri agar tidak menyinggung perasaannya. Lagipula ia termasuk ke dalam kelompok laki-laki dingin, alias sulit didekati. Tipe pemimpin yang sangat disukai gadis-gadis—jika ia adalah aktor Negeri Ginseng. Namun, Gria nyata, dan bagiku ia cukup sulit nyaman terhadap seseorang atau sesuatu. Entah bagaimana seorang manajer yang selalu kutakuti itu menyukai dan menyatakan perasaannya begitu saja setelah selesai meeting. Sungguh di luar pemikiran. Bahkan saat aku bercerita pada Sira, ia hanya melongo kemudian tertawa keras, dan membodohiku lantaran menerima begitu saja.
“Karena aku juga menyukainya,” tandasku waktu itu.
Sira mengangguk-angguk, masih menahan tawanya yang renyah sekali di telinga.
Aku tersenyum sendiri jika mengingat hari itu. Jika dipikir-pikir, kenapa juga aku harus langsung menerimanya. Namun, ya sudahlah, toh aku menyukai Gria dan sifat lain yang jarang ia tunjukkan di kantor. Seperti tadi saat aku memintanya untuk pulang duluan lantaran aku yang harus menyelesaikan beberapa pekerjaan, ia mengangguk tanpa mengucap sepatah kata lalu tiba-tiba datang dengan segelas kopi dan sebungkus roti.
“Jangan terlalu lelah, aku akan meneleponmu nanti sebelum tidur,” katanya seraya mengusap kepalaku. Tak butuh waktu lama, pipiku memerah seiring langkah kakinya yang meninggalkan ruangan.
Ya, ya, ini mungkin cinta. Ketika aku tidak tahu alasan kenapa aku menerimanya dan langsung merasa nyaman padahal sebelumnya sangat takut untuk sekadar bertatapan mata. Ini mungkin cinta dari sudut pandang berbeda seperti yang kamu alami. Apa pun itu, aku tetap percaya ketika kamu merasa senang berdekatan dengan orang itu, senang mengobrol dengannya, membuat kenangan lebih banyak, dan menghabiskan waktu lama hanya untuk sekadar duduk bersama, mungkin saja itu cinta.
“Hei, kenapa kau tersenyum-senyum begitu? Mikir jorok, ya?”
Kalimat menyebalkan dan blak-blakan itu jelas berasal dari Sira. Laki-laki yang menguncir rambutnya dengan karet itu tertawa. Tangannya memegang nampan berisi roti beraneka jenis yang kuyakin pasti baru keluar dari panggangan. Terlihat di pipinya terdapat beberapa tepung yang sontak membuatku membalas tawanya.
“Nah, kali ini malah ketawa. Kamu mulai gak waras, ya, Je?”
“Husst, sembarangan. Tuh muka kamu penuh sama tepung. Bersihkan sana.”
“Biarin. Ini sengaja tau,” katanya seraya berjalan menuju salah satu etalase berisi roti berbagai jenis dan bentuk.
Aku mengikutinya, menatap satu persatu roti yang akan kubeli untuk Gria. “Sengaja apanya?”
Sira tiba-tiba berbalik, membuatku hampir menabraknya. “Sorry,” ringisnya. “Kau belum tau, ya, kalo cewek-cewek sekarang lebih suka pria yang pintar masak daripada yang bisa main musik?”
Aku mengendikkan bahu. “Tahu dari mana itu? Baru dengar tuh.”
“Dasar polos.”
Ia mencibir, berbalik lagi dan menyusun roti-roti di dalam etalase. Aku meliriknya dengan sebal, di belakang meja kasir sepupunya Sira tersenyum kecil.
“Aku ambil beberapa roti yang baru keluar dari panggangan deh.”
“Buat si laki-laki dingin itu?”
“Hmm, yang keju dan cokelat aja.”
“Oke, mau berapa?”
“Sepuluh.”
“Siap, kubungkus langsung untukmu,” katanya langsung berjalan ke meja kasir. Mengambil kotak kue dan memasukkan roti rasa keju dan cokelat di nampan di atas meja. “Nih, buat pacar tersayang.”
Aku mencibir, mengambil kantong plastik dari tangannya yang tertutup sarung tangan karet. “Makasih, aku pulang dulu deh, masih banyak kerjaan,” timpalku seraya menyerahkan selembar lima puluh ribuan.
“Oke, semangat, ya. Ingat, awal tahun udah harus siap sebar undangan.”
Lagi-lagi aku mencibir. Sebar undangan? Tahap hubunganku rasanya belum sampai ke sana deh.
**
Nyatanya setelah percakapan sore hari itu, aku benar-benar menyebar undangan seperti yang dikatakan Sira. Ya, Gria melamarku tepat di malam tahun baru seusai acara tahunan di kantor. Tidak seperti kebanyakan laki-laki yang berlutut seraya menyodorkan kotak cincin, Gria sebaliknya. Ia berdiri memandang langit bertabur sisa-sisa kembang api pergantian tahun, dan langsung mengatakan sesuatu yang sama sekali tidak pernah kupikirkan selama kebersamaan kami enam bulan terakhir.
“Aku ingin menjalani masa depan bersamamu, dan kupikir kamu juga ingin, Jehira.”
Bodohnya, lagi dan lagi, aku mengangguk mantap!
Gria tersenyum sangat lebar. Senyum yang tidak pernah kulihat sebelumnya, lalu menyerahkan sebuah kotak berisi cincin perak. Ia memakaikan cincin itu di jari manisku dan mengusap rambutku pelan sebagaimana biasa. Harus kukatakan, sampai hari ini ia belum pernah memelukku atau lebih dari itu, dan itu membuatku lebih menyukainya.
“Akhirnya lepas masa lajang juga,” komentar Sira saat aku menyerahkan undangan pernikahan.
“Trus kamu kapan? Jangan milih-milih deh.”
“Bukan milih-milih, Je. Masalahnya kalo aku nikah cepat, penggemarku pada patah hati.”
“Sok banget gayamu. Kayak punya banyak penggemar aja.”
“Eeh, gak percayaan. Jadi, jadi, sudah belajar apa-apa yang harus dilakukan pas malam pertama nanti, belum?”
“Sira! Apaan deh, rese banget.”
Sira tertawa keras, membuat beberapa pengunjung yang datang ke tokonya dan karyawan menoleh ke arah kami.
“Gak usah malu-malu, udah dewasa ini.”
“Dan karena udah dewasa jadi gak harus dibilang juga, ‘kan?!”
“Iya, iya, jadi kamu mau kuhadiahi apa? Kue pengantin aja, ya.”
“Gak ah, itu udah langsung dari WO-nya.”
“Rangkaian bunga?”
“Bunga palsu? Gak ah. Aku lebih suka bunga rupiah,” timpalku cekikikan.
“Eeh, dasar mata duitan. Udah ah, pokoknya terima aja apa yang kukasih.”
“Oke! Tapi harus mewah.”
“Sok banget. Mau makan roti gak? Kuambilin nih.”
“Gak deh, lagi diet. Aku juga mau ke rumah beberapa teman.”
“Hmm, kalo gitu titip buat Tante aja deh. Bentar, ya.”
Sira berlari menuju meja kasir, mengambil kantong plastik dan memasukkan dua roti tawar. “Salam buat Tante,” katanya.
Aku mengangguk setelah mengambil kantong plastik dari tangannya. “Ya udah aku pergi dulu. Dagh.”
Sira melambai seraya tersenyum lebar. Namun, aku seperti melihat kesedihan di matanya.
**
Teruntuk Jehira Shika,

Selamat, akhirnya sepasang dalam akad. Sebagai sahabatmu tentu aku sangat bahagia melihatmu bahagia. Kurasa sekarang kamu tahu apa itu cinta. Syukurlah. Jadi aku tidak perlu menjelaskan lebih banyak seperti yang kita lakukan dulu sepulang sekolah di kedai Bang Jay.

Tapi, Je, aku akan menjelaskan sedikit makna cinta dari sudut pandang lain. Aku tidak berharap kamu mengerti, hanya ingin kamu tahu bahwa di dunia ini ada lebih banyak yang tidak kamu atau aku tahu.

Bagiku, cinta adalah kebebasan, kebahagiaan. Kamu bebas mencintai siapa pun dan aku pun bebas mencintaimu sebebas-bebasnya. Kita tidak perlu berada pada satu ikatan di mana kamu tidak bahagia, karena bagiku cinta juga adalah kebahagiaan orang yang dicinta. Sebaliknya, aku akan berusaha membuatmu bahagia.

Dan aku tidak harus pula mengatakan rasa itu, karena pada awalnya rasa ini muncul, aku telah membebaskan diriku dari jerat rasa yang terbelenggu. Mencintaimu.

Semoga selalu bahagia, Je. Jangan takut, aku juga akan tetap bahagia dan membuatmu bahagia.

Tertawalah lebih sering. Karena tawamu itu lebih renyah dari rengginang kesukaanku.

Salam kasih dari sahabatmu,
Siraiya Seiryu
Aku menutup surat yang diselipkan di kotak hadiah pemberian Sira. Entah mengapa tirta luruh begitu saja. Aku tak tahu, rasanya ada yang sakit.
Di samping, Gria yang sedari tadi ikut membaca surat Sira memelukku erat. Mengusap kepalaku seperti biasanya. Untuk pertama kali ia berbisik, “Aku juga membebaskanmu tertawa bersama sahabatmu, Sayang.”
Kepalaku sontak mendongak. Menatapnya yang kini menatapku penuh cinta. Berkali-kali bibirku berbisik; terima kasih.
Ya, terkadang cinta memang begitu.
banner 325x300

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *