Kesehatan – Kusta, yang juga dikenal dengan nama morbus Hansen, merupakan penyakit infeksi bakteri kronis yang disebabkan oleh Mycobacterium leprae. Kusta menyerang kulit, saraf perifer, mata, mukosa saluran pernapasan atas, otot, tulang, dan testis.
Penyakit ini dapat menyerang berbagai kelompok umur, dari anak-anak hingga orang lanjut usia. Kusta ditularkan melalui droplet dari hidung dan mulut penderita lewat kontak kulit yang lama dan dekat dengan pasien yang belum diobati. Meskipun demikian, kusta dapat diobati. Diagnosis dini dan pengobatan segera dapat mencegah kecacatan.
Indonesia menempati urutan ketiga jumlah pasien kusta terbanyak di dunia setelah India dan Brasil. Menurut laporan Kementerian Kesehatan tahun 2022, prevalensi kasus kusta di Indonesia sebesar 0,55 per 10 ribu penduduk, naik 0,05 dari tahun 2021 yang sebesar 0,5 per 10 ribu penduduk. Pada semester pertama tahun 2023, Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular (P2PM) Kementerian Kesehatan mencatat sekitar 13 ribu penderita kusta di Indonesia.
Gejala penyakit kusta tidak muncul tiba-tiba. Setelah terpapar bakteri kusta, gejalanya dapat timbul dalam setahun atau bahkan 20 tahun kemudian. Manifestasi penyakit ini umumnya terlihat melalui lesi kulit dan keterlibatan saraf perifer.
Untuk menegakkan diagnosis kusta, setidaknya ditemukan salah satu dari tanda kardinal, seperti kehilangan sensasi atau rasa rangsang raba pada lesi putih/hipopigmentasi atau lesi kemerahan/eritema; penebalan atau pembesaran saraf perifer yang disertai penurunan sensasi dan/atau kelemahan otot yang berhubungan dengan saraf tersebut; serta adanya bakteri basil tahan asam pada pemeriksaan kerokan kulit. Lesi kulit biasanya berupa perubahan warna seperti putih, merah, atau seperti tembaga, dan bisa datar atau meninggi.
Kusta menyerang beragam orang dengan cara yang berbeda, tergantung imunitas seseorang. Orang dengan imunitas tinggi memiliki sedikit kuman basil dan dikategorikan sebagai kusta PB (pausi basiler). Adapun orang dengan banyak kuman basil dikategorikan sebagai pasien kusta MB (multibasiler). Pasien kusta tipe PB memiliki 1-5 lesi dan biasanya tidak ditemukan kuman basil, sementara pasien kusta tipe MB memiliki lebih dari lima lesi atau adanya gangguan fungsi saraf akibat peradangan/neuritis, atau adanya basil pada pemeriksaan kerokan kulit.
Diagnosis dini dan terapi hingga tuntas dengan multidrug therapy (MDT) merupakan langkah penting dalam mengurangi tingkat keparahan kusta. Pada tahun 2018, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mengeluarkan pedoman tata laksana dan pencegahan kusta dengan rekomendasi tiga jenis obat, yaitu rifampisin, dapsone, dan clofazimine. Lama pengobatan untuk kusta tipe PB adalah enam bulan, dan untuk kusta tipe MB adalah 12 bulan.
Menurut WHO Indonesia, upaya mengeliminasi kusta sesuai tujuan global tahun 2030 menghadapi berbagai hambatan seperti keterlambatan deteksi, stigma, rendahnya kesadaran, dan tantangan dalam melakukan identifikasi kontak erat. Salah satu program yang dicanangkan untuk eliminasi kusta adalah pencegahan. Deteksi dini dan pengobatan dengan MDT telah terbukti mampu menghentikan penularan kusta.
Untuk meningkatkan pencegahan penularan, Kementerian Kesehatan, WHO, dan Netherlands Leprosy Relief (NLR) melaksanakan program pemberian obat/kemoprofilaksis kusta dengan obat rifampisin dosis tunggal sebagai leprosy post exposure prophylaxis (LPEP) sesuai pedoman Surat Keputusan Menteri Kesehatan.
Pemberian obat ini dilakukan melalui penelusuran kontak serumah, lingkungan, dan sosial setiap pasien kusta. Ada bukti ilmiah bahwa pemberian rifampisin dosis tunggal pada orang yang kontak erat dengan pasien kusta efektif mengurangi jumlah kasus baru dan penularan kusta, sekaligus menemukan dan mengobati pasien kusta yang belum terjaring atau dilaporkan.
***
Penulis: dr. Rona Setiawati, dokter umum di UPTD Puskesmas Penfui, Kota Kupang, Nusa Tenggara Timur.