– Padahal sejak pertama kali aku duduk di bangku kuliah, teman kesepian selalu saja kopi. Entah itu saat aku sedang menulis, bersosial media, atau sekedar baca-baca referensi.
Namun, terakhir kali aku sadar bahwa kopi ternyata lebih pahit dari kenyataan hidup, akhirnya aku berhenti saja meminumnya.
Ada kadar kepahitan yang sukar kujelaskan. “Atau, ah iya. Rasanya seperti saat aku jatuh cinta, tapi tidak tau akan kuungkapkan kepada siapa.” bayangku berkaca pada dinding.
Dulu, aku lebih suka jika kopi dipadukan dengan rasa penat. Bayangkan, jika membaca wacana hanya mampu bertahan 15 menit lamanya, tanpa kopi, dan saat bersanding dengannya, aku bisa menghabiskan hariku lebih lama lagi. “yah, minimal 2-4 jam lah.”
Bahkan, semenjak aku mengenal masa-masa sepi mencari jati diri, kopi jauh lebih berwarna dan menampilkan ribuan rasa, lagi. “Jangan dipadukan dengan jatuh cinta, ya. Masa itu, jatuh cinta hanya omong kosong, kok.”
Tidak seperti rokok macamnya, yang dihisap saat sakit kepala atau memang tidak ada kawan ngobrol, kopi justru mengobati sisi yang hilang dari kehidupan seseorang. Meski tidak sefanatik rindu, kopi justru mengajarkan padaku tentang bagaimana hidup dengan damai, lebih bijaksana, dan juga penuh perhitungan saat melangkah.
Terakhir kali aku benar-benar bersenggama dengan kopi, adalah saat jati diri itu tak benar-benar ditemukan. Kebayang, sudah beberapa tahun mencari jati diri, yang kutemukan hanya sedikit lamunan panjang membaca jalan hidup. Meski hakikatnya sama, setidaknya di sana aku menemukan jalan buntu. Ditambah, keseringan menahan diri dari menguras pendapatan yang defisit dan tak lagi menengadah pada orang tua, kopi jadi kepanikan sesaat dan akhirnya jadi warna hitam pekat yang nyata.
Aku pun memutuskan, kopi adalah pilihan lain kala berbicara pada tembok jauh lebih seru dari pada-nya.
***