Opini – Kebijakan Impor daging beku asal India yang di anggap mampu menciptakan stabilitas daging dan menekan harga menjadi Rp 80.000 per kg di pasaran ternyata belum juga tercapai.
Bahkan sampai batas importasi hingga angka 170.000 ton dengan angka pencapaian 95% pun tidak membuat harga daging dipasaran menjadi turun, malah yang terjadi adalah kebalikan nya.
Hal di atas menurut data BPS realisasi dari tahun 2019 sampai 2021 ternyata rata-rata masih di atas Rp105.000 per kilogram.
Bahkan menurut data Direktorat Jenderal Bea Cukai tercatat rata-rata harga terendah pada 2019 berada pada kisaran Rp107.000 per kg ketika impor daging kerbau mencapai 93.970 ton .
Sementara pada 2020 dan 2021 tercatat harga rata-rata berkisar pada level Rp110.000 sampai Rp115.000 per kg, di saat realisasi impor sebesar 76.365 ton dan 73.780 ton per November 2021.
Pergerakan harga daging sapi di atas terus bergulir diawal Januari yang mencapai $ 4.2 dan $ 4.55 di bulan Pebruari 2022, hal ini diperkirakan akan terus merangkak dan tidak hanya terjadi pada momentum peralihan tahun 2021 – 2022, tetapi akan berlanjut dan ujung nya menjadi tsunami harga daging sapi di bulan april dan maret saat menjelang puasa dan hari raya Iedul Fitri.
Di luar peristiwa tahunan Idul Fitri, kenaikan pun akan terus melanggeng karena di picu muncul nya kebijakan pemerintah dengan menggulirkan program menutup kekurangan sapi dengan mendatangkan daging kerbau, dan kebijakan ini ternyata bukan merupakan program kebijakan sela atau jeda tetapi seakan menjadi solusi utama untuk menutupi kekurangan daging sapi nasional.
Hal ini terlihat dari kebijakan terakhir di tahun 2022, rupa nya Pemerintah telah menetapkan impor daging tahun 2022 meningkat menjadi 266.065 ton.
Perhitungan pemerintah berasumsi pada perkiraan kemampuan produksi daging tahun 2022 sebanyak 436.704 ton, angka tersebut ditambah dengan stok awal sebanyak 62.485 ton.
Dan selain itu, pemerintah menghitung pada asumsi kebutuhan daging pada tahun 2022 sebesar 706.388 ton ditambah target stok akhir 58.866 ton, dan total kebutuhan tersebut hanya dengan menghitung konsumsi sebanyak 2,57 kilogram (kg) per kapita per tahun.
Pertimbangan lain yang di pakai oleh pemerintah untuk meningkatkan importasi daging adalah menggunakan argumentasi bahwa angka impor daging Indonesia terus mengalami penurunan dengan sebab setiap tahunnya Indonesia berhasil meningkatkan produksi daging dalam negeri dengan asumsi kenaikan konsumsi 4,07 kg per kapita,
Hal ini dipengaruhi pertumbuhan penduduknya yang naik, kemudian terjadi penurunan impornya, sebagai pergerakan peternakan di dalam negeri yang terus bertumbuh, maka diasumsikan produksi daging tahun 2022 akan meningkat sebanyak 436.704 ton.
Ini adalah sebuah logika linier yang tak beralasan dengan pertimbangan varian dan indikator yang digunakan lebih menekankan pada asumsi kenaikan produksi di tahun 2022, dan bukan pada estimasi karena pertimbangan laju importasi tiga tahun ke belakang akan bertemu dengan titik koordinasi garis pertumbuhan produksi daging dalam negeri di tahun 2022,
Selain itu pertimbangan kebijakan importasi daging sapi tidak memperhatikan pada titik temu garis koordinasi peningkatan konsumsi daging perkapita atas estimasi pertumbuhan jumlah penduduk menurut sensus 2019.
Logika linier nya semakin keliru ketika muncul angka konsumsi dari 2.57 kg perkapita per tahun naik menjadi 4,07 kg perkapita di tahun 2022, karena kenaikan pertumbuhan jumlah penduduk memiliki kontribusi besar pada peningkatan konsumsi daging perkapita,
Perso’alan nya bukan pada peningkatan nya, tapi pada signifikansi kenaikan nya yang spektakuler hanya dengan mempertimbangkan angka asumsi.
Pada sisi ini ada dua hal yang perlu dikritisi dalam bentuk dua rumusan masalah, karena ada indikator misterius sebesar 58.36% sebagai prosentasi kenaikan dari 2.57 kg menjadi 4.07 kg, yaitu ;
Pertama apakah sedemikian dahsyat nya hingga penduduk indonesia mengkonsumsi daging mengalami peningkatan 58.36% di masa pandemic covid-19.
Kedua apakah sedemikian dahsyat nya sehingga jumlah penduduk Indonesia meningkat 58.36% terhadap hasil sensus 2019 sebanyak 270.2 juta jiwa.
Kemisteriusan data ini baik secara linier maupun secara eksponensial telah memperlihatkan kualitas angka prematur untuk dijadikan pijakan dalam mengambil keputusan.
Akhirnya melahirkan spekulasi ada nya peran Para penikmat rente perdagangan daging import, khusus nya dengan importasi daging kerbau bisa memberikan rasa kesejahteraan dan membawa masuk dalam zona nyaman yang mampu mendorong pemerintah untuk melupakan road map perjalanan untuk memperkuat peternakan sapi nasional,
Jika road map memperkuat peternakan sapi nasional terjadi dengan baik dan lancar memberikan kontribusi pada penekanan harga daging hal itu akan mengganggu stabilitas raupan keuntungan sesaatnya.
Hal ini terlihat dari indikator kenaikan harga sapi sampai dengan pebruari 2022 tidak memberikan jawaban terbaik untuk menekan harga sesuai target di angka Rp. 80.000, dan yang terjadi bukan nya menurun kan harga, tetapi membuat lonjakan harga makin tidak terkendali hingga mencapai angka Rp. 107.000 bahkan Rp. 110.000. Klau diliat dari harga ausie sudah mencapai $ 4,55 maka akan ekuivalen dengan harga Rp 68.000 -Rp 70.000 bobot hidup.
Sekalipun saat panen pihak feedlot akan memberi harga rugi di Rp 58.000, ini akan membentuk harga karkas sebesar Rp.116.000/kg, dan akan membentuk harga daging sapi berkisar Rp 150.000/kg – Rp 165.000 /kg. Tsunami harga sapi yang maha dahsyat.
Koq bisa begitu, tentu ada sesuatu yang tidak bisa ditekan, dan itu bisa jadi angka berjama’ah,
Sedangkan angka misterius sebesar 58.36% adalah pendongkrak seakan – akan pemerintah telah melahirkan sebuah agenda kebijakan fenomenal dalam bentuk ledakan besar, bahwa daging dari india adalah satu – satu nya solusi terbaik melalui perkuatan jaringan rente perdagangan daging di sana. Bahkan pemasarannya sudah menyalahi zone yang sudah disepakati, daerah-daerah titik produksi sapi juga disisir dengan daging import, dengan harapan penetrasi pasar bisa semakin luas.
Jika kita menonton di layar monitor secara terbalik, ini menjadi sebuah agenda pembiaran, dan pembiaran tersebut membuat posisi jarum kompas pemerintah semakin kuat miring pada india dan memperkuat kemungkinan untuk melakukan pemusnahan peternakan sapi domestik secara agresif, karena import daging bukan nya meredup tapi malah di dukung oleh kebijakan yang lahir dari sebuah proyeksi dengan dasar asumsi semata,
Dengan demikian lahir spekulasi berikutnya kenapa harus menunggu putaran waktu yang lama dengan mengelola peternakan domestik sementara daging bisa didapatkan dengan cara yang lebih mudah dan tidak menyusahkan.
Inilah kesesatan yang nyata akibat dorongan rente perdagangan sapi import dengan mempengaruhi secara kuat ruang berfikir pemerintah untuk menjadi instan dalam mengeluarkan kebijakan.
Rente perdagangan import tidak mau melepaskan diri dan keluar dari zona nyaman karena mendapatkan cuan kesejahteraan yang melebihi batas ekspektasi nya, padahal sesungguhnya hal itu merupakan keuntungan sesaat dibandingkan jika kita memiliki peternakan yang kuat di Tanah Nusantara.
Kalau kebijakan seperti ini dilanjutkan terus, selamat tinggal peternak nasional, sebentar lagi akan menjadi kenangan.
***
Dadan K Ramdan, Sekretaris Umum PPI Pimda JABAR