Dalam satu tahun terakhir, karya itu serta-merta tercipta tanpa rencana dan rancangan yang signifikan. Membuatnya jadi berarti setelah kita tahu bahwa; ada sekian juta jiwa tak sanggup memulai hanya dengan beberapa kalimat yang menjadikannya bermakna, bernilai estetik, dan menjaga kebudayaan itu tetap berdiri, serta menempatkan individu pada tempat yang lebih terhormat di dalam status sosialnya. Bukankah menulis adalah sebuah kebutuhan manusia untuk tetap dicap sebagai mahluk sosialis?
Intermezo: Menulis Adalah Salah Satu Identitas Diri
Oleh M. Bisri Mustofa
Begitu kiranya jika manusia berdiri pada sebuah badan sosial yang individu. Sosial media. Ya, sosial media saat ini menjadi ajang eksistensi bagi siapapun itu. Hampir semua kalangan tak ingin ketinggalan eksis di akun sosial mediannya. Ada-ada saja cara untuk bisa tampil nyentrik/berdikari. Mulai dari unek-unek tak jelas, curhat perasaan, berargumen sana-sini, menebar paham hoax, sampai dengan yang hanya pasif jadi penonton/pembaca. Tak jarang diantaranya berdikari dengan menuliskan tulisan-tulisan unik, kreatif, dan mengajak si pasif untuk membaca dengan penghayatan yang eksklusif. Sehingga, dilain sisi monotonnya tulisan status sampah di sosmed, ada juga sisi menariknya dunia maya.
Seseorang akan lebih bijaksana jika menampilkan perasaan-perasaan galaunya berupa kata-kata yang dituliskan menjadi karya; entah itu kata-bijak, puisi-puisi, maupun menuliskannya pada kisah fiksi atau prosa, yang justru akan membawa pembaca (dalam hal ini publik) menghayati kesedihan kita menjadi sumber inspirasi, sumber kreatifitas untuk bertingkalaku, dan juga menjadi kesan tersendiri pada penulisnya. Lain hal ketika ia hanya justru menuliskan pada beranda-beranda status sosmed.
Tak hanya karya seni, karya tulis juga memiliki keindahan bagi siapa saja yang mampu mengendalikannya, memegang, membesarkan, dan melahirkan nilai-nilai estetika. Jika karya seni hanya dapat menghasilkan satu keindahan yaitu imaji penglihatan, maka karya tulis bisa mengusung beberapa imaji yang mampu membawa pembacanya terjun ke dalam kisah kebenaran. Adapun imaji perasaan, penglihatan, pendengaran, dan akal yang imajinatif akan merangsang pembaca turut hadir pada sebuah karya tulis yang dibacanya.
Dengan demikian, aksara yang mengandung sifat progresif, harusnya menjadi daya tarik oleh semua kalangan untuk menciptakan sebuah gagasan yang turun-temurun, menciptakan daya fikir kreatif, dan terus berdedikasi menebarkan bibit-bibit kepenulisan.
Untuk siapapun yang ingin berniat menjadikan penulis sebagai identitas diri, mulailah dengan terus bersemangat dan pantang menyerah. Apapun itu, tulislah. Jadikan ia hobi. Jadikan ia kebiasaan. Jadikan ia ajang curhatmu. Tidak akan ada kata bosan jika kita menulis dengan patokan yang demikian.
Ketakutan adalah hal utama yang membuntuti sifat dasar manusia. Selain emosional, manusia selalu saja dikalahkan oleh ketakutannya untuk memulai sesuatu. Entah itu menjadi penulis, pelukis, maupun lakon drama dan lain sebagainnya, jika dirasa potensi diri tak serta-merta memberikan keuntungan yang signifikan dan instan, hasilnya, siapa saja tak akan pernah memulai. Padahal tidak ada hal yang tiba-tiba jadi besar jika tidak dimulai dengan kebiasaan-kebiasaan kecil bukan?
Jika di tahun sebelumnya saya menghadirkan karya tulis berupa syair-syair yang bersifat orisinil dan eksklusif, serta karya yang masih terkesan kaku, belum tertata, dan sedikit ke esde-esdean, maka satu tahun ke depan; akan kita lihat perkembangannya. Akankah tetap sama, atau justru menuju arah yang lebih berkarakter.
“Siapapun orangnya, jika kita menafsirkan perasaan dengan lugas dan argumentatif, beberapa kalimat biasa saja akan menjadikannya lebih indah dari sekedar menulis surat cinta. Ya, itulah seni menulis. Tulislah, maka jadilah dengan indah.” (Bismi)
Salam Literasi 🙏
Bengkulu, 20 Juni 18