Berita Ekonomi, Bisnis, Hiburan dan Wisata Indonesia Terbaru dan Terpopuler.
Cerpen  

INISIAL

Oleh M. Bisri Mustofa

       Yang kupakai kali ini bukanlah sabit seperti biasa. Melainkan alat setrum bertegangan 50.000 volt yang kurasa sudah cukup mematikan. Tak kubawa apa-apa lagi selain masker dan tas kecil, alih-alih dapat hasil buat lebaran fikirku.
      Kuajak Roni tetangga sebelah rumah untuk segera melaju menjalankan aksi yang sudah sering kulakukan. Namun kali ini berbeda. Jika biasanya aku mengajak Fatur, pengangguran musiman karena memang tak memiliki kerja tetap, sesaat terniat untuk merekrut anggota baru. Ya, anak SMA yang masih kelas 2 ini kurasa akan lebih nurut denganku, tak seperti Fatur.
       Bahkan suatu waktu, nyaris saja kami hampir kepergok massa lantaran berselisih membagi tugas. Dan tak jarang ia bersikukuh untuk mendapat bagian hasil lebih tinggi dariku. Namun kali ini tidak kuputuskan membawa ia. Dan mala mini takkan terulang lagi, fikirku.
                  . . .
   Tepat di pengkolan Jalan Bakti Husada, kami melihat-lihat situasi sekitar. Kubagi tugas kepada Roni untuk mengawasi sekeliling. Dan aku sendiri sedikit bermeditasi mempersiapkan diri.
    Malam jumat ini rasanya tak seperti malam lainnya. Sepi sunyi. Tak seorangpun kutemui berlalu lalang di hadapku. Sudah hampir pukul 10, dan sudah 1 jam lebih kami menunggu kehadiran tamu-tamu agung yang tak kunjung lewat. Ah, aku mulai risau. Atau harus pindah tempat? Kiraku memang mengharuskan untuk segera memilih tempat lain. Takut-takut setelah jam 12 ini malah tak ada lagi orang yang berkendara.
  Aku mengontak Roni dengan hp yang kubawa. Roni yang standby 200 meter dariku segera mengisyaratkan iya’. Kulihat gerak-geriknya sedikit kecewa. Maklum baru kali ini ia kubawa.
    “Kita ke danau!” seruku menepuk pundaknya.
    Dia hanya mengangguk. Kami segera melaju mengendarai motor Satria FU yang kudapat minggu lalu. Tepat di jalan danau yang hendak kutuju lagi.
                            . . .
   Masih banyak kutemui orang melanglang buana di KM 6.5. Ah, terlalu ramai. Terlampau konyol jika aku beraksi di sini. Sambil kulihati gerak-gerik motor yang berlalu di jalanan. Kuperhatikan kemana mereka menuju. Berlawanan arahkah, atau searah.
    Sesampai di persimpangan panorama kami sontak sedikit girang. Kutunjuki dengan nada memandu. Roni yang sedari tadi kulihat cemas, diam. Dia menuruti mauku untuk membuntuti motor Beat Street yang terlihat dikendarai 2 orang gadis umuran 20an tahun. Mereka tampak menggunakan baju setelan piyama, dan berhelm tertutup. Tak kulihat wajah mereka karena sedikit samar-samar tanpa cahaya sepanjang jalan.
    Dan tepat sekali, mereka menuju jalan danau yang hendak kami lalui. Segera setelah tak jauh dari lokasi danau, kuperintahkan pada Roni untuk menyalip kedua gadis tersebut.
                            . . .
   Sepanjang jalan danau tak lagi ada kendaraan yang lewat. Setelah dirasa situasi aman, segera ku keluarkan tasergun yang telah disiapkan.
    Tak kulihat kedua gadis tadi curiga ataupun cemas sepanjang kami membuntutinya dari simpang. Ritme jalannya pun tetap santai tak seperti orang yang buru-buru. Atau mungkin mereka berfikir kalau perjalanannya akan sedikit aman karena ada teman serempak di belakangnya.
    Setelah benar-benar seiringan, segera kulesatkan tasergun bertegangan 50.000 volt tadi tepat ke tubuh gadis yang sedang mengendalikan stang motornya. Spontan mereka terpelanting jatuh dari motornya, sampai salah satu dari mereka terguling jauh dari lokasi motor. Kutepuk bahu Roni untuk berhenti, kemudian kusuruh ia berjaga 200 meter di depanku untuk mengantisipasi adanya orang lain.
    Kuhampiri tubuh kedua gadis tadi yang sudah tak sadarkan diri. Satunya terlihat kejang-kejang. Tak kutatap dalam-dalam wajah mereka. Aku hanya takut ketika mereka benar-benar mati, mukanya terniang dalam benakku. Segera kuperiksa di dalam baju dan celananya. Kutemukan sebuah hp andoid yang lumayan mahal dan sebuah dompet dengan uang yang cukup tebal. Uang, surat-surat motor pun lengkap di dalam dompet. Aku tersenyum keji.
  Ku bangunkan sepeda motor yang terjungkal dan tampak patah kap kanannya. Tak kuhirau, segera aku melaju menghampiri Roni yang sudah lama ketakutan menunggu.
                             . . .
  Sudah hampir jam 2 dini hari, namun Koh Aceng belum juga tampak batang hidungnya. Apakah dia lupa? Ah, sudah biasa, kok lupa. Atau mungkin dia sedang menuju kesini. Sambil menunggunya datang, aku menghitung-hitung uang yang ada di dompet. Ah, Cuma empat ratus ribu pecahan limapuluhan. Segera kubagi dua dengan Roni uang yang ku dapati di dompet.
   Tak selang beberapa lama akhirnya Koh Aceng bersama anak buahnya sampai dengan mobil box andalannya.. Sudah jadi kesepakatan kami untuk selalu bertemu di sini, jalan simpang Nakau, untuk membarter hasil kerjaku dengannya.
   Kali ini wajahnya merona kesenangan setelah melihatku membawa motor lengkap dengan surat kendaraannya.
   “Nah, kalau begini telus dapatnya, bakal owe’ kasih bonus lebih buat kamu beldua..” logat celonya terpapar sambil mengeluarkan uang di dalam tas sandang yang selalu dia bawa.
  “Kali ini, elu gua kasih dua juta plus bonus lima latus lebu. Bisa buat lebalan.”
    Aku tak protes. Memang demikianlah kesepakatannya. Untuk sekelas motor metik, biasa dia hargai dua juta. Dan kali ini lengkap, dia pun membayar lebih.
    Setelah motor tadi dia naikkan ke dalam mobil box, merekapun berlalu tanpa banyak komentar.
                                   . . .
   “Mak, Fitri mana?” tanyaku mengampiri emak yang tengah menghidangkan makanan sahur. Tak kutemui Fitri, adik semata wayangku di kamarnya.
    “Tadi sebelum kamu pulang kerumah, dia dijemput kawannya. Katanya diajak nganterin Fatma buat berobat ke Rs Umi. Nginap katanya.” emak menjelaskan tak acuh dari kesibukannya.
  “Fatma mana, mak. Kok aku baru denger namanya?”
   “Fatma temen adikmu yang biasa jemput dia buat ngerjakan tugas. Yang sering pake motor Bit hitam itu lho,”
    “Beat hitam Street?” sontak tanyaku kaget.
     “Lha embuh. Mamakmu cuma tau motor bit hitam. Memangnya kenapa? Kok tiba-tiba nanyain adikmu. Biasanya aja kamu gak acuh sama dia.”
   Kali ini fikiranku sedikit cemas dan kacau. Ah. Tidak. Mudah-mudahan bukan dia. Aku segera beralih ke depan TV.
    Jam di atas TV sudah menunjukkan waktu imsak akan tiba beberapa menit lagi. Sambil kunikmati makan sahur dan menonton berita, sontak aku menangis melihat berita pembegalan yang menampilkan wajah adikku di televisi.
    Terdengar reporter berita menjelaskan secara detil laporannya menjelaskan.
   “…diduga korban adalah hasil pembagalan. Inisial korban sendiri belum diketahui mengingat tak ada satu tanda pengenal pun yang mereka bawa. Saat ini berdasarkan hasil olah TKP, polisi menyebutkan adanya korban jiwa yang dialami oleh kedua remaja putri yaitu pengendara dengan bekas strum di tubuhnya…”
  “Mak, si Fitri tadi pergi make baju apa, mak!?” teriakku kecemasan dari depan TV.
    “Baju tidur merah jambu, corak kembang-kembang, Din!” teriak emak dari dapur.
Ya, itu Fitri, Analisisku. Setelah melihat bahwa baju itu benar-benar bajunya. Itu benar dia. Itu aku pelakunya. Aku sendiri yang membunuh adikku tanpa inisial.

Bengkulu, 31 Mei 2018

banner 325x300

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *