Munculnya kasus gagal ginjal di Indonesia terutama dikalangan anak-anak, membuat para orang tua khawatir. Gagal ginjal terjadi ketika ginjal tidak lagi mampu mengeliminasi produk limbah tubuh atau menjalankan fungsinya dengan baik.
Akibatnya, zat yang seharusnya dikeluarkan melalui urin menumpuk dalam cairan tubuh, menyebabkan gangguan pada keseimbangan asam basa, elektrolit, serta proses endokrin dan metabolisme (Harmilah, 2020).
Gagal ginjal bisa terjadi secara tiba-tiba dan dalam waktu singkat atau akut disebabkan oleh penurunan drastis fungsi ginjal hingga kurang dari 15 ml/min/1,73m². Sedangkan kronis berarti terjadi secara bertahap dan berlangsung dalam jangka waktu yang lama.
Kekhawatiran ini diperkuat oleh data yang disampaikan oleh Jubir Kemenkes, Syahril, dalam keterangan pers virtual pada Rabu (19/10/2022). Ia mengungkapkan bahwa terdapat 206 kasus gagal ginjal dilaporkan dari 20 provinsi, dengan 99 anak di antaranya meninggal dunia.
Tingkat kematian pasien di RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo bahkan mencapai 65 persen. Pada tahun 2023, data Sistem Informasi Rumah Sakit (SIRS) Online Kemenkes menunjukkan 439 kasus gagal ginjal pada anak di Provinsi DKI Jakarta. Sementara itu, pada Agustus 2024, Dinkes DKI melaporkan bahwa 60 anak menjalani terapi gagal ginjal di RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo.
Kasus gagal ginjal pada anak di bawah lima tahun sering disebabkan oleh kelainan genetik, sedangkan pada anak di atas lima tahun, penyebabnya bisa berupa infeksi, paparan zat beracun, dehidrasi, atau penyakit kronis seperti diabetes melitus.
Ketua Divisi Nefrologi KSM Ilmu Kesehatan Anak RSHS, Dany Hilmanto, menjelaskan bahwa penyakit ginjal kronis pada anak umumnya muncul sebagai sindrom nefrotik, bocor ginjal, atau kelainan struktur saluran kencing. Ia juga menjelaskan bahwa kebiasaan makan manis dan asin tidak langsung menyebabkan penyakit ginjal. tetapi kebiasaan ini dapat memperparah kondisi yang sudah ada, merenggut masa kecil mereka dan menggantinya dengan rutinitas medis yang berat (Widyawati et al., 2023).
Gejala khas pada anak dengan gagal ginjal seperti buang air kecil atau tidak sama sekali,demam dan kehilangan nafsu makan, yang dapat membuat tubuh anak menjadi lemas. Bayangkan seorang anak yang tidak lagi bisa bermain dengan teman-temannya karena harus menghabiskan hari-harinya di rumah sakit, menanti proses hemodialisis yang menyakitkan. (Pratama & Hastuti, 2024).
Gejala-gejala ini seringkali tidak disadari oleh orang tua, dan mereka baru menyadari kondisi anaknya setelah penyakit ini mencapai tahap yang lebih parah atau kronis. Ketika sudah mencapai tahap gagal ginjal, satu-satunya harapan adalah cuci darah (hemodialisis) atau transplantasi ginjal. Oleh karena itu, sangat penting bagi orang tua untuk mengenali gejala awal ini dan segera membawa anak mereka ke fasilitas kesehatan untuk mendapatkan penanganan yang cepat dan tepat.
Hemodialisis (HD) adalah terapi yang dilakukan 2-3 kali seminggu selama 4-5 jam, terutama untuk pasien gagal ginjal kronis (GGK) dengan fungsi ginjal yang sangat menurun atau gagal ginjal akut yang tidak membaik dengan pengobatan lain. Tanpa HD, GGK dapat menyebabkan penumpukan racun yang mengakibatkan gangguan neurologis, disfungsi motorik, kelebihan cairan, hipertensi, dan gagal jantung. Proses ini, meski menyelamatkan hidup mereka tapi membutuhkan perjalanan yang panjang dan berat bagi seorang anak. Mereka dipaksa menghadapi rasa sakit dan ketidaknyamanan saat menjalani terapi.
HD berdampak signifikan pada kualitas hidup pasien, mempengaruhi kesehatan fisik dan sosial mereka. Anak-anak yang menjalani HD sering kali merasa terisolasi karena tidak bisa bermain seperti anak-anak lainnya. Mereka harus menjaga pola makan yang ketat, membatasi asupan air hingga 600 ml per hari karena kelebihan cairan dapat memicu edema paru, sesak napas, pembengkakan, serta lonjakan kadar kalium yang berisiko fatal (Leo et al., 2024).
Dampak psikologis, termasuk depresi, sering memperburuk kualitas hidup mereka, dengan gejala seperti anoreksia dan gangguan tidur. Dukungan keluarga dan lingkungan menjadi sangat penting untuk memberikan kekuatan bagi mereka menghadapi hari-hari yang sulit.
Salah satu kisah yang menyentuh hati adalah tentang Riski Fahresi, seorang anak berusia 18 tahun yang harus menjalani cuci darah selama 3 tahun sebelum akhirnya mendapatkan transplantasi ginjal. Riski menggambarkan betapa pentingnya sosialisasi mengenai pola makan yang buruk. Ia berbagi bagaimana ketidaktahuannya tentang bahaya konsumsi gula, garam, dan lemak yang berlebihan membuatnya terjebak dalam kondisi yang mengancam nyawanya. Riski berharap, tidak ada lagi anak yang harus mengalami apa yang dia alami, dan mendorong orang tua untuk lebih peduli terhadap kesehatan anak-anak mereka.
Untuk mencegah dan mendeteksi risiko gagal ginjal lebih awal, orang tua harus lebih memperhatikan apa yang dikonsumsi anak-anak mereka dan rutin memeriksakan kesehatan seperti pemeriksaan urin lengkap, tekanan darah, dan gula darah. Mengajarkan anak-anak untuk tidak menahan buang air kecil terlalu lama dan memastikan mereka minum cukup air setiap hari adalah langkah sederhana namun penting. Pemerintah juga memiliki peran besar dalam memberikan edukasi di sekolah-sekolah tentang bahaya penyakit ginjal dan pentingnya menjaga asupan GGL (Gula, Garam, Lemak).
Dengan dukungan yang kuat dari berbagai pihak, baik fisik maupun mental, anak-anak yang menjalani hemodialisis dapat merasakan kasih sayang dan perhatian yang mereka butuhkan. Bersama-sama, kita dapat mencegah peningkatan kasus gagal ginjal dan memberikan harapan baru bagi anak-anak Indonesia untuk memiliki masa depan yang lebih cerah, bebas dari rasa sakit dan penderitaan yang menyakitkan.
***
Nur Alfiah Lailan, Universitas Muslim Indonesia.