Mukomuko – Dalam kurun waktu dua tahun terakhir konflik antara petani dengan perusahaan perkebunan sawit PT Daria Dharma Pratama (PT DDP) di Kabupaten Mukomuko tak ada hentinya.
Kali ini bentrok fisik antara anggota petani yang bergabung dalam Koalisi Masyarakat Sipil (KMS) Desa Air Berau dengan 40 anggota securiti PT DDP yang dikawal anggota Brimob yang mengakibatkan 4 orang petani terluka dan dirawat di Puskesmas Pondok Suguh.
Kejadian pada Kamis 16 Mei 2024 bermua saat anggota petani KMS membersihkan dan memanen sawit di lahan garapan mereka. Setelah panen, pihak satpam perusahaan PT. DDP Air Berau Estate yang dikawal oleh Brimob merebut buah hasil panen tersebut dan terjadilah keributan dan bentrok fisik pun tak terelakkan.
Kasus ini merupakan titik konflik ke-4 di atas areal yang diklaim PT DDP. Sebelumnya, konflik agraria juga pecah di wilayah Desa Bunga Tanjung, di Desa Air Sule/Serami Baru antara PT DDP dengan kelompok petani Tanjung Sakti dan antara PT DDP dengan kelompok petani Maju Bersama di wilayah Malin Deman.
Sebelumnya, PT DDP menggugat perdata tiga orang anggota petani Tanjung Sakti atas nama Harapandi, Rasuli dan Ibnu Amin. Ketiga petani ini dituntut ganti rugi materil dan immaterial sebesar Rp7,2 miliar.
Ketiga petani digugat berdasarkan pasal 1365 KUHPerdata, tentang perbuatan melawan hukum dengan tuduhan petani menduduki dan membangun bangunan liar diatas lahan HGU milik PT DDP No 125, mengambil hasil panen di lahan milik PT DDP dan menghalang-halangi kegiatan usaha perkebunan.
“Padahal sebelum kami membersihkan lahan yang diusahakan saat ini, petani telah menanyakan status lahan ke PT DDP dan jawaban pihak perusahaan bahwa wilayah tersebut belum memiliki HGU,” kata Harapandi, petani Tanjung Sakti.
Hal tersebut diperkuat dengan surat PT DDP No 113/DDP-APE/III/2022 yang ditujukan kepada organisasi Serikat Tani Bengkulu, salah satu poinnya menyebutkan areal divisi V dan VII APE berada di luar HGU PT DDP dan statusnya adalah izin lokasi PT DDP.
Mirisnya, saat kasus bergulir di pengadilan, pada 18 Maret 2023, sebanyak 16 pondok milik petani Tanjung Sakti dibakar dan kuat dugaan dilakukan oleh karyawan PT. DDP. Kasus ini telah dilaporkan dan ditangani oleh Polres kabupaten Mukomuko.
Konflik berikutnya antara PT DDP dengan kelompok petani Maju Bersama di Malin Deman yang berlangsung selama 26 tahun tanpa ada penyelesaian tegas dari pemerintah pusat maupun daerah.
Konflik bermula pada 1997 saat PT BBS menghentikan aktivitas perkebunan dan para petani menggarap lahan yang ditelantarkan tersebut dengan bertanam kelapa sawit, karet, jengkol, durian dan tanaman lainnya.
Lalu pada 2005, PT DDP muncul dan menyampaikan kepada masyarakat bahwa lahan tersebut sudah dibeli dari PT BBS. Sejak itu, PT DDP mulai menggarap lahan dengan cara menggusur dan memaksa petani menerima kompensasi bahkan mengintimidasi petani. Di atas lahan ini PT DDP menanam komoditas sawit yang berbeda dengan komoditas yang ada dalam HGU PT BBS yaitu kakao.
Puluhan petani telah menjadi korban kriminalisasi dari konflik agraria tersebut. Pada Oktober 2022, setelah bentrok fisik, terjadi kesepakatan damai antara petani dengan PT DDP yang difasilitasi Kapolres Mukomuko dan Ketua DPRD Mukomuko menyepakati kedua pihak menahan diri sambil menunggu proses penyelesaian konflik agraria di atas lahan itu.
Ketua DPRD Mukomuko saat itu juga berjanji akan mencari solusi terbaik atas konflik agraria yang terjadi di lahan eks PT BBS yang terindikasi terlantar berdasarkan surat No. 3207/22.15-500/VIII/2009 yang dikeluarkan oleh Kementerian ATR BPN tahun 2009.
Ketua Kanopi Hijau Indonesia Ali Akbar mendesak Tim Gugus Tugas Reforma Agraria (GTRA) dan Menteri ATR/BPN RI untuk menurunkan tim ke lapangan memastikan legalitas PT DDP di Mukomuko sebelum jatuh korban terlalu banyak.
“Prinsip pengelolaan tanah itu adalah distribusi yang adil berlandaskan legalitas sempurna. Kami melihat dengan merebaknya konflik antara petani dengan PT DDP sebagai pertanda ada hal yang tidak beres dalam sistem tata kelola tanah di Kabupaten Mukomuko,” kata Ali.
Negara, dalam hal ini ATR-BPN selaku pemberi legalitas didesak segera turun tangan menyelesaikan masalah ini.
“Sementara gubernur selaku Ketua GTRA jangan berpangku tangan, rakyat telah terluka, korban telah jatuh, menjadi tugas Ketua GTRA untuk menjembatani semua konflik atas tanah dengan mengedepankan petani sebagai kelompok yg dibela dan dinomorsatukan,” katanya.