Orang gila seperti sedang harinya menampakkan diri di hadapku. Sore ini sudah tiga orang gila yang kulihat dan semuanya hampir saja mengalahkan kegilaanku.
Yang kusebut gila ini adalah orang-orang tak berbaju, celana kumal dan rambut gimbal tak terurus. Lain sisi, tampak kurus dengan mulut komat-kamit menyumpah-serapah sepanjang jalan. Dan pada orang ketiga kulihat normal dengan gestur hampir tak mencurigakan, hanya saja baunya pesing dengan tatap matanya yang kosong.
Orang kesatu dan kedua hanya sepintas berjalan di depanku. Dan yang ketiga sama sekali tak kutahu dari mana dia datang. Tiba-tiba saja dia duduk di sampingku. Kebetulan saat itu aku tengah menunggu angkot di halte. Tidak ada siapapun selain kami berdua.
Aku enggan menatapnya. Namun seiring penasaran yang kian memuncaki kepalaku, akhirnya aku memalingkan wajah ke arahnya. Dia diam. Seperti tengah berkonsentrasi, atau bisa saja melamun dan meratapi sesuatu.
Kuselidik penampilannya. Perawakan paruh baya, tatapannya sepenggal nampak suram. Sesekali kudengar gumamannya. Bahkan perutnya kemeruyuk seolah menghantarkan resonansi kelaparan.
Kuberanikan diri untuk menyapa walau dengan suasana hati sedikit was-was, “Mau roti?” kutawarkan dua potong roti yang kusimpan dalam sakuku. Dia tak menjawab. Hanya mengangguk disertai cengiran tipis dari kulumnya. Kusodorkan saja roti beserta air mineral yang tinggal separuh di sampingnya.
Berharap orang tersebut mau mengambil tawaranku, justru dia malah asik melanjutkan tatapan maya-nya.
Memang sedari awal sudah kuendus bau pesing dari tubuhnya. Tapi biar tak menyinggung perasaannya, aku tahan menutup mulut dan hidungku.
Sudah hampir tigapuluh menit angkot yang kutunggu tak kunjung datang. Merasa bosan sudah hampir mengaduk-aduk pikiranku, kucoba tawarkan diri untuk membuka pembicaraan.
“Bapak dari mana dan mau kemana?”
“Hmmmm. Hmmm. Hmmm” tigakali frasa yang kudengar dengan seksama adalah gumaman semata. Tak kulihat ada gerakan dari tubuhnya menyentuh roti pemberianku. Dengan sedikit kurekatkan ikat pinggangku karena menahan bosan dan sedikit geram, akupun membuka satu potong roti yang kusodorkan tadi. Sekali lagi kuulang pertanyaan basa-basi kepada orang yang sama sekali mengesalkan ini.
“Bapak tau jalan Bone? Saya mau kesana, tapi tidak tau arahnya”.
“Hmmm”.
“Maaf, pak. Bapak tau bahasa saya, kan?”
Tiba-tiba saja dia menatapku. Sekejap lalu memalingkan matanya ke arah masjid di seberang halte tempat kami berdiri. Selang beberapa menit, azan berkumandang.
Kutatap langit sore mulai meredam terik mentari. Warna jingga tua perlahan menyurut berubah menjadi abu gelap dan sayu. Burung camar berputar mengintari atap gedung sebelum masuk ke liangnya. Lantunan azan sesaat memekik perasaanku untuk tetap diam dan berdiri. Tidak ada irama yang berbeda dari sekedar ajakan untuk solat.
Tapi kuperhatikan sekilas, orang yang kusebut gila di sampingku menitikan air matanya. Lantas beranjak menuju masjid yang tak jauh dari tempatku terpaku.
45 menit berdiri di halte menanti kehadiran angkutan umum. Sial. Coba saja dari tadi aku jalan dan tidak mengandalkan transportasi kota yang serba menuankan diri. Mungkin sudah sampai setengah perjalanan.
Ah, daripada aku lama-lama di sini tidak jelas, ada baiknya aku menunggu di teras masjid. Atau mungkin ikut solat bersama orang-orang itu.
…
Kuakui, ini adalah pertama kalinya aku solat berjamaah setelah menginjak usia dewasa. 23 tahun, dan selama ini aku belum sekalipun berusaha mengenal Tuhan.
Kubuka semua pancainderaku, kubasuh kulit tangan, muka, dan segala persendian yang kian mengeram. Kutiru semua gerakkan orang di sampingku. Jujur, aku kaku meniru gerak-geriknya.
Setelah selesai melakukan wudu, aku segera menuju shaf di belakang. Aku tak tahu kalau aku diharuskan mengisi shaf kosong di depannya. Yang kutahu aku hanya ingin ikut orang-orang ini melaksanakan salat.
Tiba-tiba orang yang kusangka gila menggiringku mengisi shaf kosong tersebut, dan aku hanya menurutinya. Memasuki takbir pertama, bayanganku tentang ini dan itu berputar-putar penuh sampai tak sadar bahwa imam sudah menyerukan surat hamdalah dan menyerukan kalimat amin dengan intonasi panjang.
Aku terhanyut dalam pembacaan surat pendek yang dilantunkan oleh imam. Sepintas, air mataku menjatuhkan peluhnya. Segala saraf-saraf otak dan sel dalam kulit epidermis, tiba-tiba saja merenggang dan melegakan segala penatku. Rukuk, sujud, dan tasyahudku setelahnya menjadi renungan mengutuki diri. Ada kalimat Allah yang seakan membekas di kening dan kalbuku. Batinku tersendat. Selepas salam terakhir, aku tak lagi menahan tangisku yang sudah lama tak tertuang.
Ya, rabb. Ampunilah segala perkaraku mendambakan alam semesta dan hiruk-pikuk fatamorgana. Aku tak tau bagaimana cara mengkalkulasikan nikmat syukurku yang kufur.
Tak sadar sudah menjadi pusat perhatian jamaah yang ada, aku terus menutupi tangisku. Menunduk, seraya mengikuti irama zikir yang terdengar dalam bisik telingaku. Meski awal mula ada penolakkan di situ, namun lambat laun enyah juga bisik setan menggerutu.
—
“Nak?” tegur sapa imam masjid menggugah kediamanku meratapi nasib, “Kau Menangis?” lanjutnya.
Seraya menyembunyikan pandanganku, segera kusanggah pertanyanya, “Tidak, pak. Aah, saya hanya terhanyut dengan suara merdu bapak.”
“Jangan bohong. Lihat mukamu merah begitu. Memangnya di bagian mana kamu ngerasa terhanyut segala?” godanya.
“Saya tidak tahu surat apa yang bapak baca setelah amin pertama.” Pernyataan kaku-ku seolah membuka aib bahwa aku memang benar-benar tidak tahu soal agama. Sampai nama surat saja aku tidak tau.
“Oh, surah An’Nisa ayat 81, yang artinya adalah; dan mereka (orang-orang munafik) mengatakan, Kewajiban kami hanyalah taat. Tetapi apabila mereka telah pergi dari sisimu, sebagian dari mereka mengatur siasat di malam hari dan mengambil keputusan lain dari yang telah mereka katakan tadi. Allah menulis siasat yang mereka atur di malam hari itu, maka berpalinglah kamu dari mereka dan tawakallah kepada Allah. Cukuplah Allah menjadi Pelindung.“ diiringi pembacaan surahnya, imam masjid tadi membuat hati dan akalku seketika luluh.
“Kau tahu maksud dari ayat tersebut? Saya jelaskan, ya. Dan mereka berkata, maksudnya orang-orang munafik, jika mereka datang kepadamu, kewajiban kami hanyalah taat kepadamu. Tetapi apabila mereka telah keluar dari sisimu, segolongan di antara mereka menyembunyikan. Ta diidgamkan kepada tha dan boleh pula tidak, lain dari apa yang mereka katakan, padamu di hadapanmu tadi berupa ketaatan, tegasnya mereka menyembunyikan kedurhakaan mereka. Allah menulis, maksudnya menyuruh malaikat menulis apa yang mereka sembunyikan itu, yakni dalam buku-buku catatan mereka agar menerima pembalasan nanti. Maka berpalinglah kamu dari mereka, dengan memaafkan mereka. Dan bertawakallah kepada Allah, artinya percayalah kepada-Nya karena Dia pasti akan melindungimu. Dan cukuplah Allah itu sebagai pelindung atau tempat bertawakal.”
—
Kuperhatikan, orang yang sangkaku adalah orang gila saat kutemui di halte tadi, dengan seksama mendengar tausyah dari imam masjid. Lantas kemudian, ia memanggilnya “Ustaz”.
“Tidak, tidak! Jangan panggil saya ustaz. Panggil saja Pak Rohim. Saya ketua rt di sini, dan sekaligus marbot masjid. Jadi jangan panggil saya ustaz.”
Rendahnya hati seorang yang tak mau dipanggil ustaz sekalipun, menggambarkan bahwa dunia tidak hanya sebatas identitas yang dikejar-kejar oleh kalangan milenial saat ini, tetapi sebuah keikhlasan. Ada pak Rohim, seorang ketua di kalangan masyarakat yang lebih memilih dipanggil marbot, ketimbang sebagai imam.
Di masjid hanya tinggal kami bertiga. Sembari menunggu waktu isya tiba, aku, dan orang yang memang “rada kurang” tadi, memperkenalkan diri masing-masing, lantas berbincang-bincang. Baru kuketahui bahwa namanya adalah Imot. Ia mengulang kata-kata Imot ketika kami tanya nama. Selebihnya, ia hanya cengengesan. Dari mana asalnya pun ia tak menjawab.
Aku kemudian meniatkan diri untuk belajar mengaji dengan pak Rohim. Dan beliau menanggapinya dengan terbuka. Tidak ada sepatah katapun yang terucap dari bibir Imot selain kata “Ustaz” yang diulang-ulang ketika kami ngobrol. Entah. Mungkin secara mental ia adalah penyandang disabilitas. Namun ketika hatinya Tuhan sentuh, bisa saja ia adalah “orang gila” yang kemudian ditunjuk untuk menuntun orang waras sepertiku.
—
Aku jadi lupa kemana tujuanku pergi. Yang jelas sekarang, aku sedang tidak ingin enyah dari masjid ini.
Setelah salat isya berakhir, Pak Rohim mengajakku untuk mampir ke rumahnya. Begitu pun si Imot yang sedari tadi masih asik bertatap diri di atas mimbar. Tidak ada yang menegurnya. Pak Rohim memang membiarkannya, selama ia tidak membuat kekacauan. “Kekacauan?”.
Aku menolak ajakkannya. Bukan lantaran tidak mau, tapi aku harus kembali ke rumah. Aku pun pamit kepada Pak Rohim, dan sepintas memandang ke arah Imot. Ia masih tetap asik di situ sampai akhirnya ia juga digiring untuk keluar dari masjid karna pintu akan segera ditutup.
Aku sudah lebih dulu keluar dari gang di perumahan pinggir kota. Jam menunjukkan pukul 9 malam. Bayangan remang menyelimuti jalan-jalan yang kulalui. Suara kendaraan yang lalu lalang sudang mulai berkurang.
Sejurus kemudian terdengar suara motor yang berlalu dengan kencang, lalu sepintas menggelegar, berdentum keras seperti berbenturan dengan trotoar dan seretan di atas aspal.
Aku berlari ke arah di mana suara itu berasal. Tidak jauh dari tempatku berada, dan kulihat dua tubuh bersimbah darah terkapar di jalan raya. Dengan hitungan detik seluruh pengguna jalan dan orang yang melintas, mengerumuni tempat kejadian. Aku tidak segera mendekat.
Kuamati perlahan, dan terlihat dari sela kerumunan, ternyata salah satu tubuh terkapar itu adalah si Imot.
Aku tidak tahu bagaimana caranya ia lebih dulu sampai di depanku, dan kini, ia rebah tak berdaya di hadapku.
—