Semakin aku sadar, pucuk Sakura itu kian lama kian tinggi bersemi. Berguguran setiap musimnya. Kadangkala lebih dulu jatuh diterpa perdu angin. Sampai suatu kala ia layu mengering, dan terhempas bersama reruntuhan salju-salju sisa.
Bahasa yang paling indah ketika daun gugur, angin tak pernah salah padanya. Dahan tak sedikitpun menyalahkan. Karena tak sepatutnya dedaunan berharap terlampau tinggi pada dahan induknya. ‘Layu ia, Mengering ia, Jengah pun ia’, rebahlah bersama desau fana.
Begitu kulihat pucuk-pucuk Hanami berderaian di lantai taman, tepian sungai Waingapu. Tak banyak rupanya, hanya semacam dengan warna yang mulai mala. Berbeda dengan yang kutatap pada dahan paling tinggi, begitu mengulas citraan maha damai. Ya. Ia mempesona. Jauh terbentang di bawah langit-langit Tuhan. Berbanding lugu dengan kawannya yang tlah lama layu.
Bergegas aku memungut satu Sakura yang tak lagi kusebut Hanami. Tak menarik. Begitu culas. Kerutan memudarnya begitu landai. Terkadang aku mengira-sama halnya denganku kala sepi. Tiada sekawanpun bahagia. Justru sepi menerbangkan asa yang kuukir dengan tinta merah ini.
Tepat berdiri, sendiri. Pukul 17.21. Di Kota Fiksi.
Bengkulu, Juni ’18