Berita Ekonomi, Bisnis, Hiburan dan Wisata Indonesia Terbaru dan Terpopuler.
Cerpen  

DUAN

46736758 1859005574175303 4887774350234615808 n
46736758 1859005574175303 4887774350234615808 n
Pagi-pagi Duan mandi dan berdandan sangat rapi. Ia tatap kaca sembari membaca puisi seragam coklat muda, puisi pertamanya setelah menjabat menjadi seorang guru. 
Semangat yang begitu menggebu, tiba-tiba terhenti di ambang pintu setelah disadarinya ada sesuatu yang janggal.
“Hujan?” Tanya Rosi, seorang perempuan cantik, guru dari anak-anak seorang guru.
“Bukan! Tapi kenapa perasaanku tidak enak,” sanggahan lembut sembari meraba-raba kerah baju dan ikat pinggangnya.
“Diayu, coba perhatikan bajuku. Sudah rapi?” Lanjutnya.
Rosi hanya tertawa kecil sambil melanjutkan aktifitas memasaknya.
“Lho, kok malah nyengir, sih. Ya, sudah saya berangkat dulu.” tanpa menyodorkan tangannya seperti biasa, ia berlalu dengan sedikit buru-buru.
“Hati-hati, mas.”
***
Hujan rintik-rintik tidak sedikitpun menghalangi langkahnya. Duan tetap semangat memacu motornya agar segera sampai di kantor. Ia berharap murid-murid akan seperti biasa menyambutnya di gerbang sekolah.
“Bahkan jika para murid ingat, mereka pasti bakal bernyanyi menyambutku. Seperti tahun lalu.” Gumam Duan.
Belum sampai setengah perjalanan, tiba-tiba motor tua yang dikendarainya berhenti melaju. Macet.
“Haduh. Padahal baru kemarin kuservis motor ini. Eh, sial malah macet lagi.” Sambil mendorong motornya dengan terengah-engah, Duan mengungkapkan kekesalan dengan muka masam sepanjang jalan.
Tidak beberapa jauh dari lokasi macetnya si merah, sebutan motor merah tuanya, ia mendapati bengkel. Ia berhenti dan terus berharap untuk tidak terlambat datang.
Tak lama kemudian, si merah pun kembali hidup. Tanpa basa-basi Duan menyerahkan selembar uang bernominal 50ribuan, dan segera melaju.
Setelah lama fokus berkendara, akhirnya ia kembali curiga. Ada sedikit perasaan jengkel dan was-was dalam hati besarnya.
Akhirnya Duan kembali bergumam,”Kenapa tidak ada anak sekolah yang berlalu-lalang. Wah jangan-jangan saya kesiangan ini.”
Kebetulan, jam dan hp miliknya, lupa dikenakannya, terlebih langit begitu mendung dan mentari pagi tidak tampak berpijar, sehingga untuk menafsirkan saat ini jam berapa, ia tidak sanggup.
Perjalanan yang tidak terlampau jauh namun tersita oleh keadaan teknis sepeda motornya membuat ia harus rela kehilangan waktunya selama setengah jam.
Walau akhirnya ia sampai juga di depan gerbang sekolah, perasaan kesal makin menghantam keningnya.
Mukanya dikerutkan dengan beberapa gelombang usia, sehingga ia tampak lebih tua dari sebenarnya.
“Ini kenapa, kok gerbangnya belum dibuka. Mana anak-anak.” Dilongokkannya kepala melewati gerbang pagar.
“Saya yang kepagian, atau telat datang, sih?” Masih bertanya-tanya mengapa kedatangannya tidak disambut seperti biasa, ia pun membuka gerbang pagar.
Beberapa langkah memasuki halaman sekolah, tiba-tiba ia disapa oleh penjaga sekolah.
“Tumben, Pak Wan. Rajin sekali. Lembur, ya?” Tanyanya dengan nada meledek.
“Lho, Pak. Kenapa kok sepi. Mana anak-anak ngga seperti biasanya sepi begini. Apalagi ini hari guru. Biasanya mereka antusias memberi kejutan kepada guru-guru, khususnya saya, hehe.”
“Lho, ini kan libur, Pak. Hari minggu. Apa sampean lupa?” Ujar penjaga sekolah sambil berlalu menuju ke dalam ruangan.
Terlihat penjaga sekolah begitu rajin membersihkan ruangan dan menata taman-taman sekolah hingga kerindangannya hampir tidak tertandingi bagi sekolah manapun.
“Jadi, hari ini hari minggu, ya. Duh, kenapa Dek Rosi ngga ngingatin saya. Masa iya, dia juga lupa.”
Kekecewaan muncul satu lagi di benaknya. Namun tak memutuskan segera pulang, Duan menuju ruang kantor untuk mengambil bendera merah putih seraya dikibarkan dengan sendirinya.
Duan menarik tali bendera sambil diiringi isak dan bait lagu. Ia menggumamkan puisi yang dihapalnya tadi lantas turut melarutkan pada lagu yang dinyanyikannya.
Ia tak lagi kecewa hanya karena lupa hari dan tidak jadi membacakan puisinya di hari guru.
Meski guru tidak ada yang sepertinya, ia tetap semangat menggemakan dogma-dogma kedisiplinan bahkan kebhinekaan pada siswa-siswinya. Keahlian yang selalu ia gali, terus ditanamkan kepada semua yang terlihat memiliki talenta khusus.
Tidak ada lagu-lagu yang luput dari senar gitarnya. Tidak ada satupun penyair yang tak ia kenal. Melukis, bersandiwar, bahkan menari pun ia jalani dengan totalitas. Tak ada sesuatu yang tidak ia coba. Kecuali mencoba mengajarkan bahasa asing kepada siswa-siswinya.
Akhirnya, dibacakannya puisi itu dengan keras-keras di bawah langit hujan berhadap-hadapan dengan sangsaka.

“Seragam coklat muda…
Sepantasnyakah perabot lunak ini mendapat seragam?
menghormat pada merah putih yang jernih
di depan siswa, di tengah penerus bangsa…
Yah, terpujilah wahai engkau”

***
Bengkulu, 26 November 2018

banner 325x300

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *