Jakarta – Partai Demokrat, PDI-P, dan Gerindra sama-sama memainkan narasi sebagai “korban” yang akan dijegal di Pemilu 2024. Sehingga, terjadi saling tuding antar petinggi partai bahwa ada yang tidak menginginkan partainya menang pemilu dan calon tertentu ikut pilpres.
Menurut Direktur Eksekutif Aljabar Strategic, Arifki Chaniago, hal tersebut gimmick elite partai politik untuk mendapatkan perhatian publik. Sebagai oposisi, Partai Demokrat tentu akan lebih diuntungkan karena selama ini selalu bersebrangan dengan pemerintah. Namun menariknya, PDI-P dan Gerindra juga merasa akan dijegal di tahun 2024.
” Kok narasi politik yang berkembang saling jegal menjegal ya. Kita harus akui partai-partai itu lagi gimmick. Strateginya ya memanfaatkan posisi masyarakat yang terbelah untuk saling tuding. Kan untung juga bagi partai bisa jadi perbincangan, meskipun narasi yang dimainkan kurang produktif karena lebih ke kepentingan partai”, ujar Arifki.
Narasi populisme sepertinya masih menarik bagi elite untuk dimainkan di tahun 2024. Dengan adanya saling tuding antar partai kepercayaan masyarakat terbelah. Awalnya ini pertarungan Demokrat dan PDI-P, tetapi dengan Gerindra juga memainkan narasi jegal-menjegal kayaknya ada percakapan yang ingin dikuasai partai.
Masyarakat Indonesia ini sangat berempati bagi orang yang terzhalami. Makanya, menjadi orang yang teraniaya sangat menyenangkan bagi politisi, karena pada saat itu perasaan lebih dulu bekerja dari pada logika. Setelah Demokrat, PDI-P dan Gerindra merasa akan dijegal di tahun 2024, sulit juga mencari kebenaran dari pertarungan tersebut, tetapi kembali pada posisi politik.
” Jegal-menjegalnya ini nggak hanya kepentingan di ruang publik aja nih!, tapi udah mulai obok-obok perasaan publik agar tidak fokus ke isu, tapi siapa kira-kira yang dijegal. Agar ada keuntungan terhadap partai dan capres “, tutup Arifki.