Perasaanku makin berwarna-warni. Tak lama lagi, aku akan menghadapi satu momen istimewa yang telah kunanti-nantikan. Aku akan bertemu secara langsung dengan seorang lelaki yang sudah kukenal baik di dunia maya. Dengannya, aku hendak menjalin hubungan yang serius. Dan sebagaimana pesan-pesannya lewat media sosial, kuyakin, ia pun mendambakan hal yang sama.
Sudah sangat lama aku menunggu untuk menyatu dengan belahan jiwaku. Banyak waktu yang telah kubuang untuk menanamkan cintaku di hati sejumlah lelaki yang ternyata hanya berbuah kecewa. Aku harap kemalanganku itu berakhir setelah aku mengikatkan hati dengan dirinya yang berhasil menumbuhkan kembali harapanku untuk menikah di usiaku yang nyaris kepala empat.
“Yakinlah, aku akan membahagiakanmu. Aku berbeda dengan mantan-mantanmu. Aku memang hanya mengenal dan mengakrabimu di dunia maya, tetapi perasaanku kepadamu tak akan berbeda di dunia nyata,” tutur sang lelaki, sesaat yang lalu, saat kami mengobrol lewat saluran panggilan video.
Seketika pula, aku kembali terlena mengkhayalkan kebersamaan kami di masa mendatang. Namun atas luka hatiku setelah dikecewakan sejumlah pria sebelumnya, aku pun mempertanyakan kecemasanku, “Tetapi sampai kapan hubungan kita semu begini? Aku perempuan, dan umurku tidak muda lagi. Jika kau benar-benar serius denganku, apa kau punya rencana untuk menikahiku?”
Ia pun tersenyum tenang. “Peganglah janjiku. Bulan depan, aku akan ke kotamu dan segera meminangmu.”
Sontak saja, perasaanku jadi berbunga-bunga. Aku seolah jatuh ke alam surga.
Atas pengucapan janji nikahnya itu, aku yakin akan menjadi istrinya. Aku tak mengkhawatirkan lagi bentangan jarak yang memisahkan kami, juga kemungkinan-kemungkinan buruk yang mungkin terjadi. Dari raut wajahnya dan tutur katanya, aku bisa membaca kesungguhan hatinya.
Akhirnya, sepanjang perjalananku mencari cinta sejati, aku merasa bersyukur punya Tami. Dialah sahabatku yang senantiasa menguatkan hatiku yang hancur berulang-kali, hingga aku bisa bangkit dari keterpurukan. Dialah yang selalu bersabar mendengar keluh kesahku perihal takdir jodoh, hingga aku sanggup bertahan untuk menunggu lelakiku.
Aku bisa membayangkan betapa terpuruknya hidupku tanpa kehadiran Tami. Setiap kali aku memiliki perkara dengan para lelaki yang pernah menghanyutkan hatiku, hanya ia yang mampu menyelamatkanku. Hanya ia yang bersedia mendengarkan kesedihanku tanpa balas menuntutku mendengar kesedihannya. Hanya ia yang bersabar menjadi tempat curhatku.
Karena itulah, di tengah kebahagiaanku saat ini, aku ingin menginformasikan kepada Tami perihal rencana pujaanku untuk meminangku. Namun sayang, ia tak juga menjawab setelah aku melakukan panggilan telepon sebanyak tiga kali. Tetapi aku maklum, sebab ia barangkali sedang menghindar untuk bermain ponsel. Apalagi, ia memang telah menuturkan kepadaku kalau di hari libur ini, ia akan berada di rumah orang tuanya untuk melepas penat dari segala macam perkara.
Selain Tami, aku tentu punya keluarga atau teman dekat sebagai tempat berbagi cerita. Tetapi menuturkan kesedihanku kepada mereka, sama sekali tak membuat perasaanku tenang. Pasalnya, mereka senantiasa balik berkeluh, bahwa kesedihan mereka akibat percintaan, lebih parah ketimbang kesedihanku. Mereka bahkan tak segan menimpaliku dengan vonis menyalahkan, bahwa akulah yang salah karena terlalu lemah dan mudah diperdaya lelaki.
Kukira, kesabaran Tami dalam menanggapi kegalauanku, terbentuk dari kehidupan cintanya yang membahagiakan. Ia tampak tidak memiliki cerita pilu sebelum dan setelah menautkan hatinya dengan suaminya. Setidaknya, selama kami akrab sebagai teman sekantor, ia tak pernah curhat kepadaku perihal perkara percintaannya. Ia seolah langsung saja bertemu dan bersatu dengan suaminya sebagai cinta pertama dan terakhirnya.
Tami memang beruntung lekas bertemu dengan pasangan hidupnya. Ia tak perlu menguras waktu dan emosi untuk tersesat dan terluka pada hati-hati yang lain. Kenyataan itu kadang membuatku merasa iri dan tak sabar untuk menikmati takdir kehidupan rumah tangga yang sama. Apalagi, sebagaimana aku dan sang idaman hatiku, awalnya, Tami dan suaminya juga berkenalan dan mengakrabkan diri di dunia maya.
Berkaca pada kisah cinta Tami dan suaminya, aku pun makin yakin kalau tak ada salahnya menjalinkan perasaan yang spesial dengan seseorang di dunia maya. Mereka telah membuktikan bahwa seseorang bisa menemukan cinta sejatinya melalui kanal media sosial. Apalagi, sebelum-sebelumnya, aku memang hanya menjalinkan perasaan dengan lelaki yang kukenal di dunia nyata, dan semua akhirnya mengecewakanku.
Atas keyakinanku bahwa kisah cintaku kali ini akan berakhir membahagiakan seperti kisah cinta Tami dan suaminya, seminggu yang lalu, aku pun bercerita kepadanya, “Kukira, hubunganku dengan lelaki yang kukenal di media sosial itu, tampaknya akan berbeda ketimbang hubunganku dengan para lelaki sebelumnya. Kurasa, kami punya banyak kecocokan untuk menjadi pasangan hidup,” tuturku, saat kami tengah bersantap di sebuah rumah makan, di tengah istirahat kerja
Tetapi lagi-lagi, aku malah heran menyaksikan tanggapannya. Seperti sebelumnya, setiap kali aku membahas kedekatanku dengan lelaki itu, responsnya tampak dingin. “Kau jangan terlalu yakin begitu. Citra dirinya yang kau lihat di media sosial, belum tentu mencerminkan dirinya yang sesungguhnya. Karena itu, sebelum kau memutuskan untuk mejalin hubungan yang serius dengannya, kau mesti mengenalnya secara sungguh-sungguh.”
Aku jelas tak setuju. “Aku rasa ia sebaik yang terlihat di layar kaca. Aku bisa membaca bahwa ia tulus mencintaiku apa adanya. Aku yakin akan hidup bahagia jika bersamanya,” balasku, tegas.
Ia pun mendengkus. Tampak tidak bersemangat menanggapi keyakinanku.
“Kamu kok ragu kalau lelaki itu akan cocok menjadi pendamping hidupku hanya karena aku mengenal dan mengakrabinya di media sosial? Bukankah kau sendiri mengenal dan mengakrabi suamimu di media sosial, kemudian kalian menikah dan hidup bahagia?” sidikku, tak habis pikir.
Ia lantas tergelak pendek.
“Apa yang lucu? Kenyataannya begitu, kan?” sergahku.
Ia lantas menggeleng-geleng. “Tidak begitu juga.”
“Lah, kau dan suamimu tampak hidup bahagia. Selama ini, kau tak pernah mengeluhkan persoalan kehidupan rumah tanggamu,” tanggapku.
Dengan cahaya muka yang perlahan meredup, ia lalu mengembuskan napas yang panjang. “Jangan menilai hanya dengan apa yang kau lihat,” balasnya, lantas memandangiku dengan tatapan sendu. “Satu hal yang perlu kau tahu, bahwa setelah kau menikah, kau punya tanggung jawab untuk menjaga nama baik keluargamu. Entah pahit atau manis, kau mesti sabar menjaga rahasia.”
“Jadi kau tidak bahagia?” selisikku.
Ia pun tertawa pendek. “Suatu saat, kau pun mengerti bagaimana rasanya.”
Aku hanya mengangguk-anggguk. Pura-pura memahami kondisi rumah tangganya. Tetapi bagaimanapun, aku tetap berkeyakinan bahwa kebahagiaannya atas kehidupan keluarga kecilnya, jauh lebih besar daripada kepedihannya akibat perkara-perkara kecil di dalamnya. Karena itu pula, aku berkeyakinan bahwa kepedihanku atas kenangan cinta yang pahit di masa lalu, akan sirna sepenuhnya setelah aku berhasil menikah dengan lelaki idamanku itu.
Dan kini, dengan perasaan senang, aku kembali mencoba menghubungi Tami untuk menceritakan rencana lelaki dambaanku untuk segera membangun rumah tangga denganku. Aku ingin menyampaikan rasa bahagiaku, juga ucapan terima kasihku.
Tetapi lagi-lagi, setelah berkali-kali mencoba, panggilangku tak juga terjawab. Sampai akhirnya, aku memutuskan untuk menelepon adiknya.
“Halo,” tanggap adik Tami di ujung telepon.
“Tami di mana? Aku meneleponnya, tetapi ia tak juga menjawab,” tanyaku, penasaran.
“Tami ada di rumah sakit, Kak,” jawabnya, dengan nada kalut dan embusan napas yang memburu.
“Apa yang terjadi?” sidikku.
“Entahlah. Tadi pagi, aku menemukannya di dalam kamar tidurnya, dengan tubuh yang lemas dan mulut yang berbusa,” terangnya.
Pikiranku pun melayang dan menyasar beragam sangkaan.***
Ramli Lahaping. Kelahiran Gandang Batu, Kabupaten Luwu. Berdomisili di Kota Makassar. Menulis di blog pribadi (sarubanglahaping.blogspot.com). Bisa dihubungi melalui Instagram (@ramlilahaping).