Berita Ekonomi, Bisnis, Hiburan dan Wisata Indonesia Terbaru dan Terpopuler.
Cerpen  

BALADA PEMULUNG

WhatsAppImage2018 12 03at17.51.10
WhatsAppImage2018 12 03at17.51.10

Malam itu serasa senyap. Rimbun awan kelam menghalang derasnya sinar  cahaya rembulan, Muharam hari ketigabelas. Tiga hari jelang perayaan budaya Tabut yang menyedot ribuan pengunjung, wisatawan domestik maupun lokal, tumpah ruah di sepanjang jalan kota Ibu Kota Bengkulu. Hiruk-pikuk, menghempaskan rasa penasaran mengenai betapa meriahnya prosesi tersebut.
Sutrisno, seorang pemulung yang setiap harinya berjalan kaki puluhan kilo meter demi mencari barang bekas, untuk kemudian dijual agar tetap bisa makan sehari-hari, serasa kehilangan tempat, hilang arah mencari-cari seonggok sampah rumah tangga yang sekiranya masih bisa didaur-ulang.
Sebelumnya, selama sepuluh hari terakhir, dia begitu semangat mengumpulkan puluhan kilo sampah plastik, kardus, dan kaleng di segala penjuru Lapangan Merdeka, tempat perayaan festival berlangsung. Timbul rasa sukur yang tiada terkira. Namun entah mengapa, setelah festival daerah berakhir, muka riangnya pun berubah menjadi seperti biasa, dan kini, ia harus kembali menyusuri kehampaan Kota Bengkulu.
Tatap sayu Sutrisno kala berjalan ke segala arah, membuatnya justru hilang harapan. Sudah dua hari ia tidak makan, hanya bisa minum dan itupun adalah air dari kran-kran  masjid yang ia lewati.
Sempat kala subuh, ia tertegun menatap sebuah masjid di Pasar Bengkulu. Ada kekosongan memuncaki kepalanya. Begitu berat. Sesekali ia melirik kiri-kanan melihat keadaan sekitar, apakah warga sekitar sudah ada yang bangun dan beranjak ke arah masjid atau belum. Tidak ada pergerakan.
Angin pagi begitu erat memeluk sirkulasi darah siapa saja yang berada di luar rumah. Apalagi dalam konteks kelaparan seperti yang Sutrisno rasakan. Timbul keinginannya untuk masuk ke dalam masjid. Entah apa yang terpikir, yang jelas ia ingin makan atau  setidaknya mendapat barang yang bisa dijualnya.
Belum saja selangkah kakinya memasuki teras masjid, teriakan terlontar dari seorang jema’ah dan memecah kebuntuan Sutrisno. Gerak-gerik mencurigakan berubah jadi ritme kalang-kabut. Timpal gagap hanya bisa terucap dari bibir yang sudah sejak awal menggigil.
“Maaf, pak. Sa, saya cuma mau minta air ledeng”,
“Halah. Ngicu kau. Kau ko nak maling. Tampang cak kau ngapo masuk-masuk rumah Tuhan, ko. Apo yang kau ambil, tu. Balikkan, kalu idak ambo teriaki kau biar semua warga siko datang. Pacak mati kau dibakar massa. Balikkan!!”. hardiknya dengan logat bahasa Bengkulu yang kental.
“Ngga ada saya ambil sesuatu, pak. Saya cuma mau minta air saja. Saya haus. Lapar juga, sudah seharian belum makan”, tampak muka cemas dan kian menggigil.
“Sudah ngaku saja kau. Coba kutengok apo bae yang kau ambik tu!”, sambil merebut karung yang sedang digendong, lelaki usia limapuluhan tahun itu menumpahkan semua yang ada di dalamnya.
Tidak ada satupun barang berharga yang terlihat dalam karung lusuh melainkan hanya sampah kaleng dan minuman gelas. Sejurus kemudian ia mengusir si pemulung dari halaman masjid. Dengan tergopoh-gopoh, Sutrisno memunguti barang berharganya seraya bangkit dan kemudian berlalu dari masjid tersebut.
Timbul kedunguan dari akal seorang pemulung yang menangkap kesan bahwa, tidak semua orang alim dan beragama memiliki rasa kasih terhadap pemulung.
Kakinya berjalan terseok-seok seiring perut yang kian mengkerut. Mata yang mulai sayu terbelenggu akal sehat, terus menyoroti bayang-bayang pagi. Tak dirasakannya air mata mengalir. Sambil menyebut-nyebut ketiadaan Tuhan kala itu, iapun meneruskan langkah kakinya mengikuti angin berhembus.
Sesosok mayat laki-laki itu ditemukan terbujur kaku di Auning No.64, depan Pasar Minggu bertingkat, Kelurahan Belakang Pondok, Kecamatan Ratu Samban, Kota Bengkulu. Masyarakat sekitar sontak heboh dan mengerumuni tempat kejadian.
Tubuh mayat itu terlihat masih segar. Tidak ada darah mengalir dari tubuh kurusnya. Di sekujur badan, tidak ada luka lebam maupun sayatan dari benda tajam.
Tim kepolisian mencermati sebab-akibat kematian seorang yang ternyata adalah Sutrisno, si pemulung ulung.
Setelah badan mayat yang terkulai itu di balikkan oleh sorang penyidik, tampaklah seutas tali menjerat di lehernya. Timbulah dugaan mengalir dari mulut masyarakat yang penasaran. Dan dugaan kuat, seonggok mayat pemulung itu disinyalir mati akibat gantung diri.
Polisi menyusuri tempat kejadian perkara. Segala barang bukti dikumpulkan, saksi-saksi sekitar dicecar pertanyaan 5w 1h. Dapatlah alasan mengapa si pemulung itu dengan tragis mengakhiri hidupnya dan menjerat leher ke batang pohon yang bersampingan dengan kotak sampah pasar.
Menurut keterangan saksi mata yang menemukan pertama kali,  Deni yang kesehariannya bekerja sebagai tukang parkir motor, sewaktu dirinya hendak membeli rokok di warung ibu Mahardika yang posisinya tidak jauh dari tempat kejadian secara tak sengaja menemukan mayat tersebut.
Saat ditemukan, korban dalam kondisi tergeletak dengan posisi kaki selonjor ke tanah, pantat di atas kursi dan di leher sudah terikat tali rapiah berwarna merah dan keadan tubuh tidak memakai baju. Dengan melihat kondisi tersebut, saya mendekati korban dan bermaksud ingin membangunkannya, ternyata korban sudah mati, pak”, tuturnya sambil  mengepulkan asap rokok.
“Terakhir, ambo nengok, Sutris ni sesudah magrib tadi, duduk nangis sambil mengeluh dan menahan sakit perut di depan masjid tu, pak”. celetuk Maharda yang mengaku sebagai  tetangga Sutrisno.       
Tiada kata-kata lagi yang terucap di kerumunan manusia tepi pasar, selain berguman dan berdelik menatapi kisah mayat. Tak lama kemudian, mayat tersebut diangkat ke dalam ambulan menuju kerumah duka. Tidak perlu di opname, tidak butuh diselidiki. Karena memang kasusnya bukanlah kasus pembunuhan yang layak digegerkan. Ini hanya kasus biasa. Kasus di mana orang putus asa, gagal memperpanjang umur dan kegunaannya di dunia.

banner 325x300

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *