Seiring hari, waktu berlalu dan aku masih tetap sebagai manusia yang belum tuntas menjadi manusia pragmatis. Aku terus membelot, mencari-cari sisi kanan dan kiri sebuah golongan, intansi, dan status sosial yang paling ideal. Tentunya untuk mencari mana penghargaan yang layak kuraih dari hasil usaha yang selama ini kubangun. Namun tiba saja pikiranku melaju ke sana-kemari. Tepisan angin pagi menerpa dan segera menyadarkanku ”menjadi bermanfaat saja belum, namun cita-cita sudah sampai ke ujung langit”.
Pagi ini aku begitu letih untuk bangkit dan berangkat menuju ladang nominal. Langit yang mendung seakan tidak sabar menurunkan hujan. Namun kulihat, tak ada kopi bersama gorengan di hadapanku. Koran langganan pun sudah seminggu yang lalu stop kontak. Dan sebentar lagi siulan kereta api bakal mencerca dan menyerapahiku selama tidak bangkit dari sini.
Kata-kata kasar yang selalu lekat kuingat adalah, “pengangguran”, “kerja layak”, “anak perlu sekolah”, “makan angin”, “mati saja” dan berbagai cacian terhadap latar belakang nominal yang tidak pernah tercukupi. Selalu saja menjadi wejangan pagi hari.
Aku adalah seorang staf tata usaha di sebuah perusahaan. Gajiku lebih kecil ditimbang pengeluaran yang hampir naik dari 56 persen, menjadi 70 persen saat ini. Berdalih keterampilan yang tidak spesial kumiliki, hal itu layak aku dapatkan sebagai bentuk usahaku membangun rumah tangga dan relasi.
Memang usia pernikahanku masih seumur jagung, belum ada lima tahun. Namun sudah kutahu pasti, istriku mulai jengah dengan keberadaan yang demikian. Di tahun milenial seperti saat ini, segala kebutuhan tidak hanya sampai pada sandang dan pangan saja, melainkan keperluan tetek-bengek fashionable, kebutuhan sosial dan komunikasi yang menjalar pada doktrin keras emak-emak. Sehingga keberhasilan memberi candu kepada istriku terhadap gemerlapnya dunia ini, membuatku radang-berakal.
Sambil mengurung diri dan berpikir positif akan jalan Tuhan, akupun bangkit. Terseok-seok menuju titik semu. Dengan berat hati menyeret kedua tungkai menuju keberadaban keras kota Bengkulu, berjalan menyusuri dewala, ke arah kaki langit.
Sesampainya di kantor, aku menatapi langit-langit ruang kerjaku tak sebagus dengan ruangan kerja Antonius, teman se-angkatan kala kami terjun bebas ke dunia kerja. Aku terbayang-bayang ketika di dalamnya terdapat AC dan televisi, dengan perangkat komputer supercangih bersama kursi kerja yang empuk. Aku juga masih ingat betapa sofa yang ada di sana, membuat pinggangku terasa nyaman. Kuperhatikan satu persatu perangkat keras yang membuatnya nyaman dan efektif dalam mengerjakan tugas. Mendukung kemajuannya dalam berdikari.
Tidak seperti punyaku. Ruangan empat kali lima meter yang setiap harinya membekap dan mengungkung akal sehat. Menjatuhi keberagaman masalah dan kalkulasi yang tak berarti.
Ada kejengahan di sana-sini. Dan aku ingin kembali menghitung-hitung rasa syukurku. Atau juga kufur yang selama ini menghantui rumah tangga ini. Ah, memang istri seperti dia, lebih layak kudiamkan.
Baru kali ini aku benar-benar menjadi orang tak berguna. Berniat resign hanya akan menimbulkan masalah baru. Kekeliruan pendapat tentang bagaimana cara bertahan hidup, membuatku jadi ber-Tuhan dengan pekerjaan ini.
Berangkat pagi pulang malam hari, dengan gaji di bawah rata-rata, menjadikan rasa syukurku berada di siklus paling rawan. Antara kufur, dan juga frustasi lagi-lagi tampil di halaman komputer. Satu-persatu. Di mana keadaan selalu membungkamku untuk mengingat Tuhan, mengadukan kebutuhan sehari-hari, lantas bercakap mesra dengan tekanan dari atasan.
Kutatap arloji di tangan kananku mulai berhenti berputar. Terkadang perlahan menyendat-nyendat seakan kian sekarat dan menyeruku untuk mengganti baterai baru. Tak segera kuhiraukan waktu yang sedang memegang kendali. Yang jelas di hadapanku kini, aku tengah terlena dengan istilah baru, “independen”; Kemerdekaan hidup yang sepatutnya. Amburadull.
…
“Cipto. Kau di panggil bos,”
“Ada apa?”
“Sudah jangan bantah. Kulihat dari kemarin, kamu cuma melamun. Kau lupa apa kerjamu di sini? Berfikir, To, berfikir. Bukan melamun”.
Rekan kerjaku satu ini memang terkenal sinis. Segala aktivitasku selalu jadi pusat perhatiannya. Ada wajah-wajah koloni di situ.
Belum saja selesai menilai sisi buruk Deni, tak lama kemudian tampak wajah yang jauh aku kesali, “Bos?”.
“To. Kemana saja kamu selama ini?”
“Saya? Saya ngga kemana-mana, pak. Saya selalu stay di sini, jam kerja maupun tidak, saya tidak akan berani bolos,”
“Serius? Kau yakin dengan apa ucapanmu tadi?”
“Iya, Pak.”
“Saya tidak yakin, To. Saya lihat beberapa minggu ini kinerjamu sebagai kontributor perusahaan, mengalami penurunan. Saya rasa kamu butuh istirahat, To.”
“Maksud Bapak?”
“Resign. Maaf, To, saya sangat tidak ingin mengecewakan rekan lain, apalagi dalam perusahaan kita yang sebesar ini, bukan sebuah ajang main-main dalam berkreasi dan berfikir kritis demi memajukan target klien. Kita adalah satu-kesatuan. Saya tidak ingin perusahaan menanggung akibat dari penurunan pola pikir karyawan yang pasif sepertimu”.
“apa? Mohon, Pak. saya bisa perbaiki semuanya. Saya membutuhkan pekerjaan ini. Saya tidak akan mengecewakan bapak lagi.”
“Sudahlah. Ini sebagai bentuk konsistensi saya dalam perusahaan ini!” nadanya meninggi.
“Bapak yakin akan memecat saya?” tanyaku dengaan ketegasan.
“Bapak tidak sayang dengan karir bapak di perusahaan? Saya memegang sesuatu yang berkaitan dengan bapak dipertemuan malam kemarin, di hotel Renaju. Bagaimana?” lanjutku dengan kata-kata mengancam. Seolah hal tersebut tiba-tiba jatuh begitu saja. Aku tahu, itu adalah malam yang kebetulan terekam olehku. Dan bakal menjadi senjata mempertahaankan keberadaan ini.
Wajah pusat-pasi tiba-tiba tercermin dari muka atasanku. Direktur yang selama ini membuatku malas untuk berhadapan dengan komputer lagi. Dan membangkitkan rasa yang begitu benci. Muak dengan segala yang aku kerjakan.
Dengan spontan kemudian dia merangkulku, “Kau ikut saya ke ruangan.”
—
Setelah beberapa minggu aku malas untuk pergi ke kantor, dan memilih menghabiskan waktuku dengan anak-anak asuh yang baru kuangkat, istriku bertubi-tubi menghakimiku dengan pertanyaan krusial. Lagu lama. Tentang nominal rupiah yang tidak lagi masuk ke dalam dompetnya.
“Kulihat beberapa minggu ini, kau begitu santai di rumah. Kau tidak lagi berpikir untuk menaungiku? Sudah sok kau kini, ya. Sudah banyak uang, pakai acara mengangkat anak asuh segala? Hah?! Jawab!” segala perkataan yang sudah sering kali kuhapal, kubiarkan lewat sia-sia.
Aku terdiam dan asik melanjutkan bermain dengan anak-anak. Tidak lagi kuhirau pertanyaan kasarnya. Bahkan ketika ia hanya bisa menuduhku tak peduli lagi. Memang. Aku tidak peduli lagi dengannya.
“Dapat uang dari mana kau selama ini? Sudah kulihat hampir dua minggu kau tidak lagi bekerja ke kantor. Atau, jangan-jangan kau dipecat oleh, bosmu?! Lantas, mau makan apa kita nanti, hah?!” lagi-lagi ungkapanya membuatku semakin kesal. Kuarahkan anak-anak untuk bermain ke halaman belakang rumah.
“Kau mau apa ketika aku tidak lagi bekerja di sana? Apa kau mau marah? Biarpun aku tidak lagi kerja di sana, bukankah kau masih tetap bisa makan, bukan?” sejurus kemudian aku menunjukkan kepadanya hp di dalam sakuku. Dan kemudian membuka foto-foto yang kuambil beberapa minggu lalu.
“Kau pikir aku tidak tahu dari mana selama ini kau membeli bedak-bedak dan tas dengan harga mahal seperti itu?” sambil menghadapkan foto dirinya berjalan bersama bosku, dan memasuki sebuah hotel, aku berbalik menjegalnya.
“Jangan pernah lagi kau memaksa aku untuk memberi kecukupan pada hal yang sia-sia semacam itu! Kau perbaiki jalanmu, atau lebih baik kita pisah selamanya.”
—
Seminggu sebelumnya, setelah kemudian aku memutuskan untuk berlibur beberapa hari dan menenangkan pikiranku, aku mendatangi rumah NoV, Direktur perusahaan yang ketahuan berselingkuh dengan istriku. Aku mengikuti permainannya. Kusuruh ia menaikkan jabatanku sebagai Manager perusahaan. Atau, jika tidak, aku akan menghancurkan nama baiknya-pun menceraikan istriku yang tidak tahu terimakasih atas usaha yang sudah kubina.
Kini, kuberi ia pilihan untuk memperbaiki diri, atau tetap bermain api dengan segala kekejian.