“Mungkin dia yang lain, Lae. Tapi bukan aku.” Laki-laki itu mendongkak. Rembulan di atas menghiasi langit Eropa malam itu.
Oleh Salfia Afriadi
“Kau boleh berprinsip kalau laki-laki itu sama. Sejak ayahmu meninggalkan ibumu dengan harapan dia akan kembali. Tapi sampai 25 tahun usiamu, dia tidak kembali.” Dia melanjutkan kalimatnya.
“Tapi … sejak kepergianmu yang tiada kabar membuat hatiku berpikir demikian. Apa kautahu, Jho? Menunggu itu butuh pengorbanan.” Wanita itu mulai bersuara, sejak tiga puluh menit tadi hanya menunduk dan menangis.
“Pengorbanan, karna di dalamnya ada kekhwatiran, rindu, dan rasa itu campur aduk jadi satu, aku tahu itu.” Tapi apakah kautahu satu hal, Lae?” Jho mulai menatap Lae, kekasihnya itu. Dia sangat paham akan kesedihan kekasihnya itu perihal laki-laki. Salahnya yang membuat Lae selalu berharap lebih.
“Aku tidak seperti yang kau anggap. Sengaja aku kembali ke Eropa setelah sekian tahun pulang ke Indonesia, hanya ingin membuktikan bahwa aku akan menepati janji. Menemuimu lagi setelah dua tahun perpisahan kita.”
“Jho, beri satu alasan kenapa aku seharusnya tak berpikir bahwa kau tak seperti laki-laki yang lain.”
Jho diam, lalu mulai membacakan puisi yang ditulisnya saat mereka bersama dulu.
‘Lae, bulan di sana masih indah
Sama seperti indahnya penantianmu
Dan cintaku adalah bintangnya
Bulan tak akan sendiri setelah itu
Kau menanti, aku mencari
Kau setia, aku kembali‘
Puisi itu terdengar indah bagi Lae, dia tahu walau sebenarnya masih terlalu cinta pada Jho. Hanya saja perpisahan sesaat membuat dirinya sangat membenci kekasihnya itu.
“Selamat menyambut usia 25 tahun, Lae. Aku di sini setelah penantianmu. Peluk aku, kita akan nikmati malam ini bersama. Tidak hanya sekarang, esok dan sampai aku menutup usia.”
Lae sadar, lelaki memang perlu diberi kepercayaan, di saat kepercayaan itu masih dipegangnya maka itulah pembuktian bahwa masih ada laki-laki yang menjaga hati untuknya. Tidak ada kisah cinta yang terlalu rumit. Beberapa orang saja yang membuatnya rumit.
*GA Aiyu