Bengkulu – Sebanyak 184 desa dan kelurahan di sepanjang pesisir Provinsi Bengkulu diperkirakan akan tenggelam pada tahun 2050 sebagai akibat Krisis Iklim.
184 Desa dan Kelurahan di Bengkulu akan Tenggelam pada 2050
‘’Tragedi bencana pada tahun 2050 tersebut akan menjadi kenyataan, karena diperkirakan suhu rata-rata bumi akan mencapai 2 derajat celcius. Dengan suhu 2 derajat, es di kutub akan mencair sehingga sekitar 70 persen daerah pesisir pantai di seluruh dunia akan mengalami kenaikan permukaan air lebih dari 20 cm.” ungkap Manager Sekolah Energi Bersih Kanopi Hijau Indonesia, Hosani, pada aksi Hari Lingkungan Hidup 2024, di Simpang Lima Ratu Samban Kota Bengkulu, Rabu 5 Juni 2024.
Hosani menjelaskan, 184 desa dan kelurahan yang akan tenggelam tersebut tersebar di sepanjang 525 kilometer di Kabupaten Mukomuko, Bengkulu Utara, Bengkulu Tengah, Kota Bengkulu, Kabupaten Seluma, Bengkulu Selatan dan Kaur.
‘’Dalam waktu 26 tahun lagi objek wisata andalan Kota Bengkulu yakni Pantai Panjang, Benteng Marlborough, dan kawasan perbelanjaan di pesiisr pantai diperkiraan juga akan tenggelam,’’ ujar Hosani.
Hosani menambahkan, ancaman abrasi, intrusi air laut dan kehilangan daratan adalah hal yang perlu diantisipasi. Transisi energi yang sekarang sedang dilaksanakan oleh negara justru mengarah kepada kerusakan wilayah baru dan penuh dengan solusi palsu.
Menyadari kenyataan buruk tersebut, puluhan peserta Aksi Lingkungan Hidup Sedunia – Bengkulu 2050. Jangan Diam!, beranggotakan Mahasiswa, Komunitas, Siswa dan Organisasi non pemerintah menyampaikan sikap kritis dalam bentuk teatrikal, orasi dan pembacaan puisi.
Aksi Lingkungan Hidup Sedunia tahun ini didominasi oleh pelajar Bengkulu yang tergabung dalam Sekolah Energi Bersih. Para pelajar diajak dalam aksi agar mereka menyadari bahwa planet bumi adalah rumah satu-satunya yang harus dipertahankan dan diperjuangkan untuk keberlangsungan hidup generasi di masa depan.
Michelia Bano Safitri pelajar SMAN 1 Kota Bengkulu mengatakan bahwa melihat realita bumi saat ini kita sudah seharusnya sadar dan bergerak cepat melawan krisis iklim penyebab abrasi, terlebih kita harus memerangi penggunaan energi kotor batubara sebagai biang keroknya.
“Saya ingin anak muda Indonesia terutama pelajar yang ada di Kota Bengkulu mulai peduli kondisi lingkungan. Jika kita tidak peduli, maka 10 – 15 tahun ke depan daratan, sekolah, bahkan rumah kita hilang ditelan air laut. Dimasa itu juga kita pelajar sedang produktif sementara bumi kita rusak, maka dapat dipastikan kita akan semakin lebih sengsara dari hari ini,” tegas Michelia.
Mereka juga menyampaikan beberapa seruan yakni:
Presiden Republik Indonesia untuk tidak bermain-main dengan program transisi energi yang sekarang sedang berjalan dengan menutup 171 PLTU batubara di Indonesia, termasuk 33 unit PLTU batubara di Pulau Sumatera berkapasitas 3.566 Megawatt (MW).
Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan untuk menghentikan eksploitasi Pesisir Pantai Bengkulu untuk kepentingan investasi semata.
Gubernur Bengkulu untuk bekerja memastikan desa – desa di kawasan pesisir di provinsi Bengkulu selamat dari ancaman.
Pembakaran batubara di Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) merupakan salah satu Kontributor utama emisi gas rumah kaca yang menyebabkan krisis iklim. Endcoal.Org mencatat sejak 2006 – 2020 setidaknya ada 171 PLTU batubara yang beroperasi di Indonesia dengan total kapasitas 32.373 megawat. Pembangkit – pembangkit ini ikut menyumbang CO2 yang dihasilkan oleh seluruh PLTU di dunia mencapai 258.394 juta ton untuk rata-rata emisi tahunan sekitar 6.463 juta ton.
Perjanjian Paris pada tahun 2015 bahwa pemerintahan dunia berkomitmen menjaga suhu bumi dibawah 1,5 derajat celcius pada tahun 2030, maka upaya yang harus dilakukan adalah dengan memangkas emisi global sebesar 70% dari emisi saat ini, termasuk dari sektor energi, salah satunya penggunaan energi fosil batubara.